Halaman

Jumat, 05 Desember 2014

HUKUM ONANI / MASTURBASI DALAM 4 MADZHAB

Onani/Masturbasi yang dalam bahasa fiqh-nya lebih dikenal dengan istilah al-Istimna`, adalah mengeluarkan air mani tanpa melakukan persetubuhan, baik dilakukan secara haram seperti dengan menggunakan tangannya sendiri ataupun tidak haram seperti dengan menggunakan tangan istrinya. Istimna` ini lebih khusus dari pada istilah Imna` dan Inzal (keluarnya mani) karena terkadang ia bisa dihasilkan dalam keadaan tidak terjaga dan tanpa ada upaya mengeluarkan air mani, sedangkan Istimna` adalah usaha untuk mengeluarkan air mani yang pelakunya mesti dalam keadaan terjaga dengan menggunakan media perantara apa saja. Adapun media perantara untuk melakukan Istimna` adakalanya dengan menggunakan tangan, dengan cara memandang, berfikir (membayangkan/berkhayal), atau dengan cara persentuhan dengan selain area farj (daerah kemaluan) seperti persetubuhan pada selain vagina, dengan menggunakan kedua paha, berpelukan, ciuman, atau dengan selainnya.



Dan hukumnya menurut mayoritas ulama dari empat madzhab (Syafi'iyyah, Malikiyyah, Hanafiyyah dan Hanabilah) adalah haram dengan berdasarkan firman Allah sebagai berikut :

والذين هم لفروجهم حافظون * إلا على أزواجهم أو ما ملكت أيمانهم فإنهم غير ملومين * فمن ابتغى وراء ذلك فأولئك هم العادون

Artinya : "dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas". (QS. al-Mu`minun : 5-7)

Karena perbuatan tersebut disinyalir berkemungkinan menarik pelaku untuk tidak menikah dan memutus benih untuk dapat beranak-pinak, sehingga mayoritas ulama menisbahkan pelaku onani/masturbasi sebagai orang yang telah melampaui batas sebagaimana disinggung dalam ayat tersebut sehubungan menikah adalah sunnah baginya untuk dapat mempunyai keturunan dan menjaganya dari perbuatan yang dilarang syari'at. Akan tetapi perbuatan onani ini tergolong dosa kecil, sehingga barangsiapa yang melakukan onani/masturbasi hendaknya ia dicegah (diberi peringatan ) agar tidak melakukannya lagi, dan apabila mengulanginya maka dia layak untuk di-ta'zir (dikenai sangsi).

Pendapat Ulama Lintas Madzhab Tentang Onani/Masturbasi

- Malikiyyah

Dalam madzhab ini onani hukumnya haram, baik dilakukan karena khawatir dengan melakukan zina ataupun tidak, akan tetapi apabila perbuatan zina hanya bisa ditahan/ditolak dengan cara ber-onani maka onani­-lah yang lebih didahulukan untuk dilakukan karena ia merupakan perbuatan dosa yang paling ringan dibanding zina. Syech Muhammad bin Yusuf al-Mawwaq mengutip pendapat dari Ibn Abbas yang mengatakan, bahwa perbuatan onani/masturbasi itu masih lebih baik dari pada zina, dan demikian juga menurut Aby al-Sya'sy, Mujahid, dan al-Hasan. (refr. Syarh Mukhtashar Khalil Lil-Kharsyiy dan al-Taaj Wa al-Iklil Li-Mukhtashar Khalil)

- Hanafiyyah

Pada dasarnya dalam madzhab ini juga mengharamkan praktik onani/masturbasi yang dilakukan atas dasar untuk membangkitkan syahwat, artinya onani yang dilakukan karena memang ingin bersenang-senang dengan cara ber-onani maka hukumnya haram. Namun apabila onani itu dilakukan semata-mata untuk meredam syahwat yang sedang bergejolak sedangkan pelaku onani/masturbasi tidak mempunyai seorang istri ataupun budak perempuan, maka harapan dalam madzhab ini semoga tidak ada bencana yang melanda terhadap pelaku onani (semoga pelaku tidak dikenai sangsi dosa oleh Allah) sebagaimana dikatakan oleh Abu al-Laits. Dan bahkan apabila ber-onani merupakan satu-satunya jalan atau solusi baginya agar selamat dari perbuatan zina maka ber-onani/masturbasi menjadi wajib baginya karena ia merupakan perbuatan dosa yang paling ringan dari pada zina sebagaimana dinyatakan oleh Syech Muhammad Amin 'Abidin. (refr. Hasyiyah Radd al-Muhtar 'Ala al-Durr al-Mukhtar dan al-Bahr al-Ra`iq Syarh Kanz al-Daqa`iq)

- Syafi'iyyah

Rekomendasi dari madzhab kami ini adalah haram secara mutlak melakukan onani/masturbasi, meskipun dengan alasan karena khawatir dengan perbuatan zina sebagaimana keterangan dari madzhab Malikiyyah, hanya saja madzhab kami tidak memberikan opsi hukum terkait sebuah kemungkinan yang tak dapat diatasi kecuali dengan cara ber-onani sebagaimana solusi hukum dari madzhab Malikiyyah dan Hanafiyyah. Bahkan Imam al-Mawardiy menganggap fasid (pernyataan tidak benar) pendapat sebagian ulama fiqh kawasan Bashrah yang membolehkan praktik onani dalam keadaan safar (melakukan perjalanan) sebagaimana diceritakan oleh Imam al-Syafi'iy, maka onani/masturbasi serupa dengan perbuatan bersenang-senang dengan seorang wanita yang tidak halal tanpa memasuki area terlarangnya (farj/vagina) sehingga pelakunya layak untuk di-ta'zir (dikenai sangsi) seperti perbuatan liwath (homosexuil) sebagaimana dinyatakan oleh Syech Abu Ishaq al-Syairaziy. Namun dalam Bab Haidh ulama kalangan madzhab kami memberikan opsi hukum ketika seorang suami dilema antara menyetubuhi istrinya yang sedang haidh dan melakukan onani, sehingga secara analogi hukum (qiyas) boleh melakukan onani demi tercegah dari perbuatan zina seperti pernyataan yang dilansir oleh Syech Ibnu Qasim al-'Abbadiy atas rekom Ibnu Hajar, dan menurut al-Barmawiy sebagaimana dikutip oleh Syech Abdul Hamid al-Syarwaniy atas kutipan al-Bujairamiy, bahwa mendahulukan melakukan onani merupakan pendapat yang lebih mendekati kebenaran karena menyetubuhi istri yang sedang haidh adalah larangan yang telah disepakati semua ulama, sementara onani/masturbasi merupakan perbuatan yang masih diperselisihkan hukumnya di antara ulama. (Nah, bila kenyataan hukum demikian adanya seharusnya madzhab kami memberikan opsi hukum sebagaimana madzhab lain, andai seseorang melakukannya semata-mata demi dirinya agar tidak melakukan zina sehubungan dia tidak mempunyai istri dan tidak mempunyai biaya untuk melakukan pernikahan serta merupakan satu-satunya cara, sudah sepantasnya melakukan onani adalah solusi terbaik, sebab bagaimanapun juga zina itu lebih besar dosanya dari pada onani, sesuai qa`idah fiqh "إذا تعارضت مفسدتان روعي أعظمهما بارتكاب أخفهما" , artinya apabila dua kerusakan saling berhadapan maka yang lebih besar dari keduanya mestilah dijaga dengan cara melakukan yang paling ringan di antara keduanya, meskipun toh perbuatan tersebut tetap berdosa dalam keadaan seperti ini - red. editor). (refr. al-Hawiy al-Kabir, al-Muhaddzab Fiy Fiqh al-Imam al-Imam al-Syafi'iy, I'anah al-Thalibin dan Hawasyiy al-Syarwaniy Wa Ibn Qasim al-'Abbadiy)

- Hanabilah

Menurut pendapat yang lebih shahih dalam madzhab Imam Ahmad bin Hanbal ini bahwa onani/masturbasi hukumnya haram karena perbuatan ini merupakan perbuatan pemutusan benih beranak-pinak sebagaimana perbuatan liwath (homosexuil) dan pelakunya mesti di-ta'zir karena onani merupakan perbuatan maksiat. Hanya saja dalam madzhab ini membolehkan melakukan onani jika dikhawatirkan akan berbuat zina, namun mayoritas ulama kalangan madzhab ini tetap mengharamkannya meskipun terdapat kekhawatiran dengan melakukan zina. Dan demikian juga boleh melakukan onani apabila akan sakit atau berdampak negatif terhadap badan jika tidak ber­-onani, karena air mani merupakan fudhlah (ampas; turahan - jawa) yang terkandung di dalam badan, sehingga sewaktu-waktu dibutuhkan untuk dikeluarkan maka boleh-boleh saja dikeluarkan sebagaimana melakukan al-fashd dan al-Hujamah (cantuk bekam dan cantuk cutat - jawa). Dengan demikian dapat diketahui bahwa kebolehan ber-onani/masturbasi dalam madzhab ini hanya ketika ada hajat saja atau dalam keadaan darurat seperti khawatir berbuat zina, sehubungan pelaku tidak mempunyai biaya untuk melangsungkan pernikahan, dan apabila tidak demikian maka hukumnya tetap haram. (refr. al-Kafiy Fiy Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal, Syarh Muntaha al-Iradat Lil-Buhuthiy, Taisir al-'Allam Syarh 'Umdah al-Ahkam dan Tafsir al-Alusiy)

Dari keterangan-keterangan ulama tersebut dapatlah ditarik benang merahnya bahwa tak satupun ada ulama yang membolehkan perbuatan onani/masturbasi dalam keadaan ikhtiyar. Sedangkan apabila dalam keadaan terdapat hajat atau darurat maka ulama berbeda pendapat sebagaimana rincian terlampir di atas dari masing-masing madzhab. Demikianlah sedikit penjelasan dari kami Team Dakwah MTTM dan semoga dapat dimengerti dan dipaham dengan mudah, dan apabila dalam ulasan terdapat ketidakpantasan atau bahkan keluputan maka itu murni kecerobohan kami, dan bilamana didapati sesuatu yang dinilai lebih maka itu merupakan anugerah yang diniscayakan oleh Allah SWT.

Wallahu A'lam Bisshawab...........



REFERENSI :

1. al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, juz 5, hal. 106-107 | Mausu'ah Syamilah

2. Syarh Mukhtashar Khalil - Fashal Haruma Bil-Ihram 'Ala Imra`ah Lubsu Quffazin | Marji'ul Akbar

3. al-Taaj Wa al-Iklil Li-Mukhtashar Khalil, juz 8, hal. 392 | Marji'ul Akbar

4. Hasyiayh Radd al-Muhtar 'Ala al-Durr al-Mukhtar, juz 2, hal. 438 | Marji'ul Akbar

5. Hasyiayh Radd al-Muhtar 'Ala al-Durr al-Mukhtar, juz 4, hal. 192 | Marji'ul Akbar

6. al-Bahr al-Ra`iq Syarh Kanz al-Daqa`iq, juz 2, hal. 293 | Marji'ul Akbar

7. al-Hawiy al-Kabir Fiy al-Fiqh al-Syafi'iy, juz 11, hal. 440 | Marji'ul Akbar

8. al-Hawiy al-Kabir Fiy al-Fiqh al-Syafi'iy, juz 21, hal. 255 | Marji'ul Akbar

9. al-Muhaddzab Fiy al-Fiqh al-Imam al-Syafi'iy, juz 2, hal. 345 | Marji'ul Akbar

10. I'anah al-Thalibin, juz 3, hal. 341-342 | Marji'ul Akbar

11. Hawasyiy al-Syarwaniy Wa Ibn Qasim al-'Abbadiy, juz 1, hal. 639-640 | Marji'ul Akbar

12. al-Kafiy Fiy Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal, juz 4, hal. 210 | Marji'ul Akbar

13. Syarh Muntaha al-Iradat Lil-Buhuthiy, juz 3, hal. 366 | Marji'ul Akbar

14. Taisir al-'Allam Syarh 'Umdah al-Ahkam, juz 2, hal. 977 | Marji'ul Akbar

15. Tafsir al-Alusiy, juz 81, hal. 81 | Marji'ul Akbar



الموسوعة الفقهية الكويتية ج 5 ص 106-107 | الموسوعة الشاملة

استمناءٌ ؛ التعريف : - 1 - الاستمناء : مصدر استمنى ، أي طلب خروج المنيّ. واصطلاحاً : إخراج المنيّ بغير جماعٍ ، محرّماً كان ، كإخراجه بيده استدعاءً للشّهوة ، أو غير محرّمٍ كإخراجه بيد زوجته. - 2 - وهو أخصّ من الإمناء والإنزال ، فقد يحصلان في غير اليقظة ودون طلبٍ ، أمّا الاستمناء فلا بدّ فيه من استدعاء المنيّ في يقظة المستمني بوسيلةٍ ما. ويكون الاستمناء من الرّجل ومن المرأة. ويقع الاستمناء ولو مع وجود الحائل. جاء في ابن عابدين : لو استمنى بكفّه بحائلٍ يمنع الحرارة يأثم أيضاً. وفي الشّروانيّ على التّحفة : إن قصد بضمّ امرأةٍ الإنزال - ولو مع الحائل - يكون استمناءً مبطلاً للصّوم. بل صرّح الشّافعيّة والمالكيّة بأنّ الاستمناء يحصل بالنّظر. -- إلى أن قال -- وسائل الاستمناء : - 3 - يكون الاستمناء باليد ، أو غيرها من أنواع المباشرة ، أو بالنّظر ، أو بالفكر. -- إلى أن قال -- الاستمناء بالمباشرة فيما دون الفرج : - 5 - الاستمناء بالمباشرة فيما دون الفرج يشمل كلّ استمتاعٍ - غير النّظر والفكر - من وطءٍ في غير الفرج ، أو تبطينٍ ، أو تفخيذٍ ، أو لمسٍ ، أو تقبيلٍ. إهـ



شرح مختصر خليل للخرشي - فصل حرم بالإحرام على امرأة لبس قفاز | المرجع الأكبر

اعْلَمْ أَنَّ اسْتِمْنَاءَ الشَّخْصِ بِيَدِهِ حَرَامٌ، خَشِيَ الزِّنَا أَمْ لَا، لَكِنْ إنْ لَمْ يَنْدَفِعْ عَنْهُ الزِّنَا إلا بِهِ قَدَّمَهُ عَلَيْهِ ارْتِكَابًا لِأَخَفِّ الْمَفْسَدَتَيْنِ، وَفِي اسْتِمْنَائِهِ بِيَدِ زَوْجَتِهِ خِلَافٌ، وَالرَّاجِحُ الْجَوَازُ وَهُوَ مَا دَخَلَ تَحْتَ قَوْلِ الْمُصَنِّفِ وَتَمَتُّعٌ بِغَيْرِ دُبُرٍ، وَلَوْ أُكْرِهَ عَلَى الزِّنَا بِمَحْرَمٍ أَوْ أَجْنَبِيَّةٍ قَدَّمَ الْأَجْنَبِيَّةَ، لِأَنَّهَا تُبَاحُ فِي الْجُمْلَةِ، وَلَوْ أُكْرِهَ عَلَيْهِ فِي رَمَضَانَ أَوْ غَيْرِهِ وَفِي لَيْلَةِ الْجُمُعَةِ أَوْ غَيْرِهَا قَدَّمَ الْغَيْرَ. إهـ



التاج والإكليل لمختصر خليل ج 8 ص 392 | المرجع الأكبر

وقال ابن عباس في الاستمناء للرجل والمرأة أي وهو خير من الزنا. ونحوه لأبي الشعث ومجاهد والحسن وللمرأة أن تبالغ في الاستنجاء. قاله اللخمي. إهـ



حاشية رد المحتار على الدر المختار ج 2 ص 438 | المرجع الأكبر

قوله: (ولو خاف الزنى الخ) الظاهر أنه غير قيد، بل لو تعين الخلاص من الزنى به وجب لأنه أخفّ. وعبارة «الفَتْح»: فإن غلبته الشَّهْوة ففعل إرادة تسكينها به فالرجاء أن لا يعاقب اهـ. زاد في «معراج الدِّراية» وعن أحمد والشَّافعي في القديم الترخص فيه، وفي الجديد يحرم، ويجوز أَنْ يَسْتَمْني زوجته وخادمته اهـ. وسيذكر الشَّارح في «الحدود» عن «الجوهرة» أنه يكره، ولعل المراد به كراهة التنزيه، فلا ينافي قول «المِعْراج». تأمل. وفي «السِّراج»: إن أراد بذلك تَسْكين الشهوة المفرطة الشاغلة للقلب وكان عزباً لا زوجة له ولا أمة، أو كان إلاَّ أنه لا يقدر على الوصول إليها لعذر قال أبو الليث: أرجو أن لا وبال عليه، وأما إذا فعله لاسْتحلاب الشَّهْوة فهو آثم اهـ.

بقي هنا شيء، وهو أنَّ علةَ الإِثْم هل هي كون ذلك اسْتمتاعاً بالجزء كما يفيد الحديث وتقييدهم كونه بالكفِّ ويلحق به ما لو أدخل ذكره بين فخذيه مثلاً حتى أمنى، أم هي سفح الماء وتهييج الشَّهْوة في غير محلها بغير عذر كما يفيده قوله: وأما إذا فعله لاستجلاب الشَّهْوة الخ؟ لم أر من صرح بشيء من ذلك، والظاهر الأخير لأن فعله بيد زوجته ونحوها فيه سفح الماء لكن بالاستمتاع بجزء مباح، كما لو أنزل بتفخيذ أو تبطين بخلاف ما إذا كان بكفه ونحوه، وعلى هذا فلو أدخل ذكره في حائط أو نحو حتى أمنى أو استمنى بكفه بحائل يمنع الحرارة يأثم أيضاً، ويدل أيضاً على ما قلنا في «الزَّيلعي » حيث استدل على عدم حله بالكف بقوله تعالى: {وَٱلَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَـٰفِظُونَ} الآية. وقال: فلم يبح الاستمتاع إلا بهما: أي بالزوجة والأمة. إهـ



حاشية رد المحتار على الدر المختار ج 4 ص 192 | المرجع الأكبر

قوله: (الاسْتِمْناء حرام) أي بالكفِّ إذا كان لاسْتجلاب الشَّهوة، أما إذا غلبته الشَّهوة وليس له زوجة ولا أمة ففعل ذلك لتسكينها فالرجاء أنَّه لا وبال عليه كما قاله أبو اللَّيث ، ويجب لو خاف الزِّنا. إهـ



البحر الرائق شرح كنز الدقائق ج 2 ص 293 | المرجع الأكبر

وهل يحل الاستمناء بالكف خارج رمضان؟ إن أراد الشهوة لا يحل لقوله عليه السلام «ناكح اليد ملعون» وإن أراد تسكين الشهوة يرجى أن لا يكون عليه وبال. كذا في الولوالجية. وظاهره أنه في رمضان لا يحل مطلقاً. إهـ



الحاوي الكبير في الفقه الشافعي ج 11 ص 440 | المرجع الأكبر

فصـل فأما الاستمناء باليد وهو استدعاء المني باليد فهو محظور ، وقد حكى الشافعي عن بعض الفقهاء إباحته، وأباحه قوم في السفر دون الحظر، وهو خطأ لقوله تعالى:{وَٱلَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَـٰفِظُونَ * إِلا عَلَىٰۤ أَزْوَٰجِهِمْ} (المؤمنون: 5، 6) الآية فحظر ما سوء الزوجات وملك اليمين، وجعل مبتغى ما عداه عادياً متعدياً، لقوله:{فَمَنِ ٱبْتَغَىٰ وَرَآءَ ذَٰلِكَ فَأُو۵لَـٰۤﯩـِٕكَ هُمُ ٱلْعَادُونَ} (المؤمنون: 7). وروي عن النبيّ صلى الله عليه وسلّم أنه قال: «لعن الله الناكح يده» ، ولأنه ذريعة إلى ترك النكاح، وانقطاع النسل فاقتضى أن يكون محرماً كاللواط. إهـ



الحاوي الكبير في الفقه الشافعي ج 21 ص 255 | المرجع الأكبر

والحال الرابعة: الاستمناء بالكف، وهو حرام. وذهب بعض فقهاء البصرة إلى إباحته في السفر دون الحضر، لأنه يمنع من الفجور، ويبعث على غض الطرف. وهذا فاسد لقوله تعالى: {وَٱلَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَـٰفِظُونَ * إِلا عَلَىٰۤ أَزْوَٰجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَـٰنُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ * فَمَنِ ٱبْتَغَىٰ وَرَآءَ ذَٰلِكَ فَأُو۵لَـٰۤﯩـِٕكَ هُمُ ٱلْعَادُونَ} . فصار المستمنى منسوباً إلى العدوان، ولأن النكاح مندوب إليه لأجل التناسل والتكاثر. قال النبي صلى الله عليه وسلّم «تَنَاكَحُوا تَكَاثَرُوا فَإِنِّي أَبَاهِي بِكُمُ الأُمَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى بِالسَّقّطِ». وقال عمر رضي الله عنه: لولا الاستيلاء لما تزوجت. والاستمناء بعيد عن الناكح، ويمنع من التناسل فكان محظوراً لكنه من صغائر المعاصي، فينهى عنه الفاعل، وإن عاد بعد النهي عزر، ولا يعتبر فيه شهود الزنا، ويقبل فيه شاهدين، وإن استحق فيه التعزير بعد النهي، ولا يجب في القذف به حد ولا تعزير إن لم يعزر الفاعل. إهـ



المهذب في فقه الإمام الشافعي ج 2 ص 345 | المرجع الأكبر

فصل: وَيَحْرُمُ الاِسْتِمْنَاءُ، لِقَوْلِهِ عَزَّ وَجَلَّ : {وَٱلَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَـٰفِظُونَ * إِلا عَلَىٰۤ أَزْوَٰجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَـٰنُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ} وَلأَنَّهَا مُبَاشَرَةٌ تُفْضِى إلَى قَطْعِ النَّسْلِ، فَحَرُمَ كَاللِّوَاطِ. فَإنْ فَعَلَ، عُزِّرَ، وَلَمْ يُحَدَّ؛ لأَنَّهَا مُبَاشَرَةٌ مُحَرَّمَةٌ مِنْ غَيْرِ إيلاَجٍ، فَأَشْبَهَتْ مُبَاشَرَةَ الأَجْنَبِيَّةِ فِيمَا دُونَ الفَرْجِ، وَبِالَّلهِ التَّوْفِيقُ. إهـ



إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين ج 3 ص 341-342 | المرجع الأكبر

(قوله: أو استمناء بيدها) أي ولو باستمناء بيدها فإِنه جائز. (وقوله لا بيده) أي لا يجوز الاستمناء بيده، أي ولا بيد غيره غير حليلته، ففي بعض الأحاديث «لعن الله من نكح يده، وإن الله أهلك أمة كانوا يعبثون بفروجهم». (وقوله وإن خاف الزنا) غاية لقوله لا بيده، أي لا يجوز بيده وإن خاف الزنا. (وقوله خلافاً لأحمد) أي فإِنه أجازه بيده بشرط خوف الزنا وبشرط فقد مهر حرّة وثمن أمة. (قوله: ولا افتضاض بأصبع) ظاهر صنيعه أنه معطوف على قوله لا بيده، وهو لا يصح: إذ يصير التقدير ولا يجوز استمناء بافتضاض، ولا معنى له. فيتعين جعله فاعلاً لفعل مقدر: أي ولا يجوز افتضاض: أي إزالة البكارة بأصبعه. وفي البجيرمي ما نصه: قال سم ولا يجوز إزالة بكارتها بأصبعه أو نحوها، إذ لو جاز ذلك لم يكن عجزه عن إزالتها مثبتاً للخيار لقدرته على إزالتها بذلك. إهـ



حواشي الشرواني وابن قاسم العبادي على تحفة المحتاج بشرح المنهاج ج 1 ص 639-640 | المرجع الأكبر

فرع: لو خاف الزنا إن لم يطأ الحائض أي بأن تعين وطؤها لدفعه جاز، بل ينبغي وجوبه، وقياس ذلك حل استمنائه بيده تعين لدفع الزنا سم على حج، وينبغي أن مثل ذلك ما لو تعارض عليه وطؤها والاستمناء بيده فيقدم الوطء لأنه من جنس ما يباح له فعله، وبقي ما لو دار الحال بين وطء زوجته في دبرها بأن تعين طريقاً كان انسد قبلها وبين الزنا، والأقرب تقديم الأول لأن له الاستمتاع بها في الجملة، ولأنه لا حد عليه بذلك، وما لو تعارض وطؤها في الدبر والاستمناء بيد نفسه في دفع الزنا، والأقرب أيضاً تقديم الوطء في الدبر لما تقدم، وينبغي كفر من اعتقد حل الوطء في الدبر لأنه مجمع على تحريمه ومعلوم من الدين بالضرورة. اهـ زاد البجيرمي: والمعتمد أنه يقدم الاستمناء بيده على وطء زوجته في دبرها. اهـ أقول: ولو قيل بتقديم الاستمناء بيده على وطء الحائض أيضاً لم يبعد، إذ تحريم الثاني مجمع عليه بخلاف الأول، ثم رأيت في البجيرمي ما نصه: قال البرماوي: وهو أي تقديم الاستمناء بيده الأقرب لأن الوطء في الحيض متفق على أنه كبيرة، بخلاف الاستمناء فإن فيه خلافاً. اهـ لأن الإمام أحمد قال بجوازه عند هجيان الشهوة وعند الشافعي صغيرة. إهـ



الكافي في فقه الإمام أحمد بن حنبل ج 4 ص 210 | المرجع الأكبر

ويحرم الاستمناء باليد، لأنها مباشرة تفضي الى قطع النسل، فحرمت كاللواط، ولا حد فيه، لأنّه لا إيلاج فيه. فإن خشي الزنى، أبيح له، لأنه يروى عن جماعة من الصحابة. إهـ



شرح منتهى الإرادات للبهوتي ج 3 ص 366 | المرجع الأكبر

(وَمَنْ اسْتَمْنَى مِنْ رَجُلٍ أَوْ امْرَأَةٍ لِغَيْرِ حَاجَةٍ حَرُمَ) فِعْلُهُ ذَلِكَ (وَعُزِّرَ) عَلَيْهِ لِأَنَّهُ مَعْصِيَةٌ (وَإِنْ فَعَلَهُ خَوْفًا مِنْ الزِّنَا) أَوْ اللِّوَاطِ (فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ) كَمَا لَوْ فَعَلَهُ خَوْفًا عَلَى بَدَنِهِ بَلْ أَوْلَى (فَلَا يُبَاحُ) الِاسْتِمْنَاءُ لِرَجُلٍ بِيَدِهِ (إلا إذَا لَمْ يَقْدِرْ عَلَى نِكَاحٍ وَلَوْ لِأَمَةٍ) لِأَنَّهُ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى ذَلِكَ لَا ضَرُورَةَ إلَيْهِ وَقِيَاسُهُ الْمَرْأَةُ فَلَا يُبَاحُ لَهَا إلا إذَا لَمْ يَرْغَبْ أَحَدٌ فِي نِكَاحِهَا (وَلَوْ اُضْطُرَّ إلَى جِمَاعٍ وَلَيْسَ مَنْ يُبَاحُ وَطْؤُهَا) مِنْ زَوْجَةٍ أَوْ أَمَةٍ (حُرِّمَ الْوَطْءُ) بِخِلَافِ أَكْلِهِ فِي الْمَخْمَصَةِ مَا لَا يُبَاحُ فِي غَيْرِهَا لِأَنَّ الْحَيَاةَ لَا تَبْقَى مَعَ عَدَمِ الْأَكْلِ بِخِلَافِ الْوَطْءِ فَإِبَاحَةُ الْفَرْجِ بِالْعَقْدِ دُونَ الضَّرُورَةِ وَإِبَاحَةُ الْمَيْتَةِ بِالضَّرُورَةِ دُونَ الْعَقْدِ. إهـ



تيسير العلام شرح عمدة الأحكام ج 2 ص 977 | المرجع الأكبر

الثالثة: الاستمناء باليد حرام عند جمهور العلماء، وهو أصح القولين في مذهب أحمد، وفي القول الآخر هو مكروه غير محرم، وأكثرهم لا يبيحونه لخوف العنت... ونقل عن طائفة من الصحابة والتابعين أنهم رخصوا فيه للضرورة، مثل أن يخشى الزنا، فلا يعصم منه إلا به، ومثل إن لم يفعله أن يمرض، وهذا قول أحمد وغيره، وأما بدون الضرورة فما علمت أحدا أرخص فيه. والله أعلم. إهـ



تفسير الألوسي ج 81 ص 81 | المرجع الأكبر

وكذا اختلف في استمناء الرجل بيده ويسمى الخضخضة وجلد عميرة فجمهور الأئمة على تحريمه وهو عندهم داخل فيما وراء ذلك، وكان أحمد بن حنبل يجيزه لأن المني فضلة في البدن فجاز إخراجها عند الحاجة كالفصد والحجامة، وقال ابن الهمام: يحرم فإن غلبته الشهوة ففعل إرادة تسكينها به فالرجاء أن لا يعاقب. إهـ


Kenangan PLPG

Mufleh


Berbagai kegiatan

Rabu, 03 Desember 2014

RAHASIA DI BALIK BERSENGGAMA

FATHUL-IZAAR BAB II

قال اهل العلم من جامع زوجته في ليلة الجمعة يصير الولد حافظا في كتاب الله تعالى

Barang siapa yang Hubungan Intim pada malam Jum'at, maka anak yang terlahir akan Hafal Al-Qur'an (Tapi Kalau semangat belajar he he )

ومن جامع في ليلة السبت يكون الولد مجنونا

Barang siapa yang Hubungan Intim pada malam sabtu, maka anak yang terlahir akan Gila bin Setres

ومن جامع في ليلة الأحد يكون الولد سارقا لملك غيره او ظالما

Barang siapa yang Hubungan Intim pada malam Ahad, maka anak yang terlahir akan menjadi seorang pencuri atau dzolim / penganiaya

ومن جامع في ليلة الإثنين يكون الولد فقيرا او مسكينا او راضيا لأمر الله وقضائه

Barang siapa yang Hubungan Intim pada malam Senin, maka anak yang terlahir akan menjadi fakir miskin atau ridho dengan keputusan dan qodho-nya Allah

ومن جامع في ليلة الثلاثاء يكون الولد بارا للوالدين

Barang siapa yang Berhubungan intim pada malam Selasa, maka anak yang terlahir akan menjadi orang yang berbakti kepada orang tua

ومن جامع في ليلة الأربعاء يكون الولد كثير العقل او كثير العلم او كثير الشكر

Barang siapa yang Hubungan Intim pada malam Rabu, maka anak yang terlahir banyak akal /cerdas atau banyak Ilmu dan banyak bersyukur

ومن جامع في ليلة الخميس يكون الولد مخلصا في قلبه

Barang siapa yang Hubungan Intim pada malam Kamis, maka anak yang terlahir akan menjadi orang yang Ikhlas dalam Hati-Nya

ومن جامع زوجته مع التكلم يكون الولد أبكم

Barang siapa yang Hubungan Intim sambil bercakap-cakap, maka anak yang terlahir akan bisu

ومن جامع في ظلمة يكون الولد ساحرا

Barang siapa yang Hubungan Intim di dalam kegelapan (Petteng madura-red) maka anak-Nya akan mejadi seorang penyihir (Na'udzubillah)

ومن جامع مع السراج يكون الولد حسن الصورة
Barang siapa yang Hubungan Intim di bawah nyala lampu, maka anak-Nya akan berwajah tampan

ومن جامع رائيا عورة المرأة يكون الولد أعمى او أعمى القلب

Barang siapa yang Hubungan Intim sambil melihat aurat (Farji Isterinya) maka anak yang terlahir akan buta mata atau buta hatinya(Na'udzubillah)

ومن جامع سائل الزاد لسفر يكون الولد كاذبا

Barang siapa Hubungan Intim Nanyak ongkos perhalanan maka anak-Nya Menhadi pendusta (Pembohong)

ومن جامع تحت الشجرة المطعوم ثمرها يكون الولد مقتول الحديد او مقتول الغرق او مات في هدم الشجرة

Barangsiapa yang Hubungan Intim di bawah pohon yang biasa berbuah, maka anak yang terlahir akan terbunuh dengan besi, karena tenggelam atau karena keruntuhan pohon

♡♡♡♡♡♡♡

قال أهل العلم وينبغي للعروس أربعة أشياء أولها أخذ اليدين وثانيها مس صدرها وثالها تقبيل الخدين ورابعها قراءة البسملة عند إدخال الذكر في الفرج

Berk ata para Ahli Ilmu :

Hendaknya bagi seorang suami memperhatikan empat hal:
1. Memegang kedua tangan isteri
2. Meraba dadanya
3. Mencium kedua pipinya
4. Membaca Basmalah ketika memasukkan penis pada vagina.

وقال صلى الله عليه وسلم من جامع زوجته عند الحيض فكأنما جامع أمه سبعين سنة الحديث او كما قال :

Rasul Bersabda : Seseorang yang menyetubuhi isterinya ketika isterinya sedang Haidh maka seolah-olah dia menyetubuhi ibunya sebanyak tujuh puluh kali

(نفيسة ظريفة) سئل بعض المشايخ عن النعم الدنيا كم هي؟ فأجاب بأنها كثيرة لايحصى عددها قال تعالى: وإن تعدوا نعمة الله لاتحصوها ولكن أعظمها انحصر في ثلاثة أشياء
تقبيل النساء
ولمسها
وإدخال الذكر في الفرج

Nafisah Dharifah
Sebagian Masayikh (guru besar) dimintai komentar tentang seberapa banyak kenikmatan dunia, kemudian sebagian Masayikh tersebut menjawab : Kenikmatan dunia itu sangat banyak hingga tak terhitung jumlahnya

Allah berfirman:
Bilapun kamu semua menghitung nikmat Allah maka kalian tak akan sanggup

Akan tetapi kenikmatan yang paling hebat teringkas pada tiga macam kenikmatan yaitu mencium wanita, menyentuhnya dan memasukkan penis pada vagina

قال الشاعر في بحر الرجز
Berkata Penyair dalam Bahril rajaz

ونعم الدنيا ثلاث تعتبر ♡ لمس وتقبيل وإدخال الذكر

Kenikmatan dunia ada tiga macam yaitu menyentuh dan mencium dan memasukkan penis-Nya

وقال أخر
Berkata : Penyair Lain-Nya

نعم الدنيا ثلاث تحصر ♡ دميك كوليت عامبوع كارو بارع تورو

Kenikmatan dunia itu teringkas menjadi tiga yaitu menyentuh kulit, mencium dan tidur bersama

Rabu, 26 November 2014

KHAUL TRADISI REBO WEKASAN SURADADI

Oleh : Samsul Munir Amin

REBO Wekasan atau disebut juga dengan Rebo Pungkasan adalah hari Rabu terakhir pada bulan Safar. Pada hari itu sebagian masyarakat menganggap Tuhan menurunkan banyak musibah dan bencana, karenanya pada hari ini perlu diadakan amalan untuk memohon ampun dan bertaubat kepada Tuhan.

Pada hari itu juga dianjurkan banyak mengeluarkan sedekah kepada sesama, dan berbuat kebaikan.

Sebagian masyarakat percaya bahwa pada hari Rabu Wekasan ini memiliki nilai religius tinggi.

Kepercayaan ini berlangsung sejak lama, bahkan Pyper, sarjana Belanda, dalam buku Beberapa Aspek tentang Sejarah Islam di Indonesia Abad Ke-19, (1979) menyebut bahwa sejak abad ke 17 M, tradisi ini sudah muncul di masyarakat muslim, khususnya di Nusantara, seperti di Aceh, Sumatra Barat, dan Jawa.

Tradisi Rebo Wekasan juga dianggap hari yang memiliki nilai tersendiri bagi masyarakat, khususnya di Desa Suradadi, Kecamatan Suradadi, Kabupaten Tegal, desa di jalur antara Tegal dan Pemalang, sekitar 17 kilometer timur kota Tegal.

Bagi masyarakat, momentum ini dimanfaatkan untuk mengenang kembali perjuangan para ulama yang berjasa menyebarkan agama Islam di desa tersebut.

Menurut penulis, memanfaatkan budaya Rebo Wekasan dengan menjadikannya sebuah acara tradisi haul untuk mengenang perjuangan para ulama ini adalah langkah ijtihad para ulama di Suradadi dalam menghadapi kenyataan budaya di masyarakat, untuk menjadikan fenomena Rebo Wekasan menjadi lebih bermakna dan memiliki nilai manfaat bagi masyarakat.

Dengan demikian ulama telah menerapkan suatu kearifan lokal (local histories) dalam menghadapi fenomena budaya di masyarakat. Langkah yang bisa ngemong masyarakat dalam melihat suatu budaya agar akar budaya itu tidak jauh menyimpang dari adat ketimuran dan agama.

Selain di Suradadi, tradisi Rebo Wekasan juga diperingati di Lebaksiu, Kabupaten Tegal, akan tetapi di sini lebih cenderung kepada acara budaya dengan datang di suatu tempat yang bernilai rekreatif dan hiburan.

Penyebaran Agama

Di Suradadi, Rebo Wekasan dijadikan acara upacaca haul untuk mengenang perjuangan mereka yang telah berjasa dalam penyebaran agama Islam di desa tersebut. Pelaksanaannya di pemakaman umum desa tepatnya di sebelah selatan Masjid Jami Al-Kautsar atau sebelah selatan Pasar Suradadi.

Karena itu menjadi wajar, jika jalur pantura pada hari Rabu Wekasan tepatnya di pasar kecamatan tersebut akan terjadi kemacetan karena pengunjung yang membeludak memadati desa kecamatan itu.

Diperkirakan acara haul tradisi tersebut dikunjungi tidak kurang dari 20 ribu pengunjung, seperti acara-acara sebelumnya, yang datang dari berbagai wilayah sekitar seperti dari wilayah Kota/Kabupaten Tegal, Pemalang, Brebes, Pekalongan, Batang, Purbalingga, dan Purwokerto.

Menurut buku Tradisi Haul Rebo Wekasan di Suradadi yang diterbitkan oleh panitia tahun 2002, haul kali pertama dilaksanakan tahun 1961 bersamaan memperingati haul KH Afroni yang wafat pada 27 Sapar 1381 H (13 Agustus 1961 M) bertepatan dengan hari Rebo Wekasan.

Akhirnya oleh masyarakat Suradadi peringatan haul tersebut, dikolektifkan untuk memperingati perjuangan para ulama, tidak hanya KH Afroni. Ini sebuah kearifan lokal yang dilakukan para ulama atau kiai dengan memadukan unsur budaya lokal dengan agama.

Menurut catatan panitia, pejuang agama Islam di Suradadi yang haulnya diperingati pada Rebo Wekasan adalah Syaikh Maulana Jumadil Kubra, KH. Abdul Ghofar, KH. Rais, KH. Afroni, KH. Idris, KH Khusen, KH. Ismail, KH. Yakub, KH. Umar, KH. Abdul Hamid, K. Said, KH. Sihabuddin, K. Yusuf, KH. Rosyidi, KH. Fatkhuddin, KH Muhammad, KH. Abdul Lathif, KH. Zainal Arifin, KH. Mukhyiddin, KH. Saifuddin dan K. Imam Yusuf.

Mereka adalah pejuang-pejuang agama Islam di Suradadi, yang ikut andil dalam mengembangkan agama Islam di desa/ kecamatan itu sehingga perjuangan mereka perlu dikenang.

Tidak bisa dimungikiri bahwa tradisi haul tersebut merupakan media efektif untuk persatuan umat, dakwah Islam, dan memobilisasi perekonamian umat.

Setengah bulan bahkan satu bulan sebelum hari H, desa itu sudah ramai dengan hiruk pikuknya acara. Desa itu menjadi semacam pasar malam, dimulai dari jalur pasar ke selatan hingga puskesmas, adalah arena bazar masyarakat yang bisa dihadiri secara gratis.

Segala jenis makanan, mainan anak-anak, pakaian, sepatu, tas, ataupun kebutuhan lainnya ada, tidak bedanya dari pasar malam yang mengundang keramaian. Pedagang pun datang dari berbagai kota. Ada satu kepercayaan, bahwa setelah berdagang pada acara Rebo Wekasan, dagangan mereka akan bertambah laris pada hari berikutnya.

Menurut penulis ini adalah budaya masyarakat yang tidak bisa dibendung. Masyarakat desa akan melanggengkan budaya seperti ini sebagai suatu tradisi yang menurut kepercayaan mereka adalah merupakan bagian dari ibadah. (10)

— Drs. Samsul Munir Amin MA, warga Suradadi Kabupaten Tegal, Dekan Fakultas Komunikasi dan Sosial Politik, UNSIQ Wonosobo.

HEWAN KURBAN

Kurban adalah kambing yang disembelih setelah melaksanakan shalat Idul Adha dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, karena Dia Yang Maha Suci dan Maha Tinggi berfirman.



"Artinya : Katakanlah : sesungguhnya shalatku, kurbanku (nusuk), hidup dan matiku adalah untuk Allah Rabb semesta alam tidak ada sekutu bagi-Nya" [Al-An'am : 162]



Nusuk dalam ayat di atas adalah menyembelih hewan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala.[1]



Ulama berselisih pendapat tentang hukum kurban. Yang tampak paling rajih (tepat) dari dalil-dalil yang beragam adalah hukumnya wajib. Berikut ini akan aku sebutkan untukmu -wahai saudaraku muslim- beberapa hadits yang dijadikan sebagai dalil oleh mereka yang mewajibkan :



PERTAMA

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu ia berkata : Bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.



"Artinya : Siapa yang memiliki kelapangan (harta) tapi ia tidak menyembelih kurban maka jangan sekali-kali ia mendekati mushalla kami" [2]



Sisi pendalilannya adalah beliau melarang orang yang memiliki kelapangan harta untuk mendekati mushalla jika ia tidak menyembelih kurban. Ini menunjukkan bahwa ia telah meninggalkan kewajiban, seakan-akan tidak ada faedah mendekatkan diri kepada Allah bersamaan dengan meninggalkan kewajiban ini.



KEDUA

Dari Jundab bin Abdullah Al-Bajali, ia berkata : Pada hari raya kurban, aku menyaksikan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.



"Artinya : Siapa yang menyembelih sebelum melaksanakan shalat maka hendaklah ia mengulang dengan hewan lain, dan siapa yang belum menyembelih kurban maka sembelihlah" [3]



Perintah secara dhahir menunjukkan wajib, dan tidak ada [4] perkara yang memalingkan dari dhahirnya.



KETIGA

Mikhnaf bin Sulaim menyatakan bahwa ia pernah menyaksikan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah pada hari Arafah, beliau bersabda.



"Artinya : Bagi setiap keluarga wajib untuk menyembelih 'atirah[5] setiap tahun. Tahukah kalian apa itu 'atirah ? Inilah yang biasa dikatakan orang dengan nama rajabiyah" [6]



Perintah dalam hadits ini menunjukkan wajib. Adapun 'atirah telah dihapus hukumnya (mansukh), dan penghapusan kewajiban 'atirah tidak mengharuskan dihapuskannya kewajiban kurban, bahkan hukumnya tetap sebagaimana asalnya.



Berkata Ibnul Atsir :



'Atirah hukumnya mansukh, hal ini hanya dilakukan pada awal Islam.[7]



Adapun orang-orang yang menyelisihi pendapat wajibnya kurban, maka syubhat mereka yang paling besar untuk menunjukkan (bahwa) menyembelih kurban hukumnya sunnah adalah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.



"Artinya : Apabila masuk sepuluh hari (yang awal dari bulan Dzulhijjah -pen), lalu salah seorang dari kalian ingin menyembelih kurban maka janganlah ia menyentuh sedikitpun dari rambutnya dan tidak pula kulitnya". [8]



Mereka berkata [9] :



"Dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan bahwa menyembelih hewan kurban tidak wajib, karena beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Jika salah seorang dari kalian ingin menyembelih kurban ...." , seandainya wajib tentunya beliau tidak menyandarkan hal itu pada keinginan (iradah) seseorang".



Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah telah membantah syubhat ini setelah beliau menguatkan pendapat wajibnya hukum, dengan perkataannya [10]



"Orang-orang yang menolak wajibnya menyembelih kurban tidak ada pada mereka satu dalil. Sandaran mereka adalah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Siapa yang ingin menyembelih kurban ....." Mereka Berkata : "Sesuatu yang wajib tidak akan dikaitkan dengan iradah (kehendak/keinginan) !" Ini merupakan ucapan yang global, karena kewajiban tidak disandarkan kepada keinginan hamba maka dikatakan : "Jika engkau mau lakukanlah", tetapi terkadang kewajiban itu digandengkan dengan syarat untuk menerangkan satu hukum dari hukum-hukum yang ada. Seperti firman Allah :



"Artinya : Apabila kalian hendak mengerjakan shalat maka basuhlah ...." [Al-Maidah : 6]



Dikatakan : Jika kalian ingin shalat. Dan dikatakan pula : Jika kalian ingin membaca Al-Qur'an maka berta'awudzlah (mintalah perlindungan kepada Allah). Thaharah (bersuci) itu hukumnya wajib dan membaca Al-Qur'an (Al-Fatihah-pent) di dalam shalat itu wajib.



Dalam ayat ini Allah berfirman :



"Artinya : Al-Qur'an itu hanyalah peringatan bagi semesta alam, (yaitu) bagi siapa di antara kalian yang ingin menempuh jalan yang lurus" [At-Takwir : 27]



Allah berfirman demikian sedangkan keinginan untuk istiqamah itu wajib".



Kemudian beliau rahimahullah berkata [11] :



Dan juga, tidaklah setiap orang diwajibkan padanya untuk menyembelih kurban. Kewajiban hanya dibebankan bagi orang yang mampu, maka dialah yang dimaksudkan ingin menyembelih kurban, sebagaimana beliau berkata :

"Artinya : Siapa yang ingin menunaikan ibadah haji hendaklah ia bersegera menunaikannya ..... " [12]



Haji hukumnya wajib bagi orang yang mampu, maka sabda beliau : "Siapa yang ingin menyembelih kurban ..." sama halnya dengan sabda beliau : "Siapa yang ingin menunaikan ibadah haji ........"



Imam Al-'Aini [13] rahimahullah telah memberikan jawaban atas dalil mereka yang telah disebutkan -dalam rangka menjelaskan ucapan penulis kitab "Al-Hadayah"[14] yang berbunyi : "Yang dimaksudkan dengan iradah (keinginan/kehendak) dalam hadits yang diriwayatkan -wallahu a'lam- adalah lawan dari sahwu (lupa) bukan takhyir (pilihan, boleh tidaknya -pent)". Al-'Aini rahimahullah menjelaskan :



"Yakni : Tidaklah yang dimaksudka takhyir antara meninggalkan dan kebolehan, maka jadilah seakan-akan ia berkata : "Siapa yang bermaksud untuk menyembelih hewan kurban di antara kalian", dan ini tidak menunjukkan dinafikannya kewajiban, sebagaimana sabdanya :



"Artinya : Siapa yang ingin shalat maka hendaklah ia berwudlu" [15]



Dan sabda beliau.



"Artinya : Siapa diantara kalian ingin menunaikan shalat Jum'at maka hendaklah ia mandi" [16]



Yakni siapa yang bermaksud shalat Jum'at, (jadi) bukanlah takhyir ....



Adapun pengambilan dalil tidak wajibnya kurban dengan riwayat bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyembelih kurban untuk umatnya -sebagaimana diriwayatkan dalam "Sunan Abi Daud" (2810), "Sunan At-Tirmidzi" (1574) dan "Musnad Ahmad" (3/356) dengan sanad yang shahih dari Jabir- bukanlah pengambilan dalil yang tepat karena Nabi melakukan hal itu untuk orang yang tidak mampu dari umatnya.



Bagi orang yang tidak mampu menyembelih kurban, maka gugurlah darinya kewajiban ini.



Wallahu a'lam





[Disalin dari kitab Ahkaamu Al-'iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthatharah, edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah oleh Syaikh Ali Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, terbitan Putsaka Al-Haura, hal. 47-53, penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Husein]

_________

Foote Note.

[1]. Lihat Minhajul Muslim (355-356)

[2]. Riwayat Ahmad (1/321), Ibnu Majah (3123), Ad-Daruquthni (4/277), Al-Hakim (2/349) dan (4/231) dan sanadnya hasan

[3]. Diriwayatkan oleh Bukhari (5562), Muslim (1960), An-Nasa'i (7/224), Ibnu Majah (3152), Ath-Thayalisi (936) dan Ahmad (4/312,3131).

[4]. Akan disebutkan bantahan-bantahan terhadap dalil yang dipakai oleh orang-orang yang berpendapat bahwa hukum menyembelih kurban adalah sunnah, nantikanlah.

[5]. Berkata Abu Ubaid dalam "Gharibul Hadits" (1/195) : "Atirah adalah sembelihan di bulan Rajab yang orang-orang jahiliyah mendekatkan diri kepada Allah dengannya, kemudian datang Islam dan kebiasaan itu dibiarkan hingga dihapus setelahnya.

[6]. Diriwayatkan Ahmad (4/215), Ibnu Majah (3125) Abu Daud (2788) Al-Baghawi (1128), At-Tirmidzi (1518), An-Nasa'i (7/167) dan dalam sanadnya ada rawi bernama Abu Ramlah, dia majhul (tidak dikenal). Hadits ini memiliki jalan lain yang diriwayatkan Ahmad (5/76) namun sanadnya lemah. Tirmidzi menghasankannya dalam "Sunannya" dan dikuatkan Al-Hafidzh dalam Fathul Bari (10/4), Lihat Al-Ishabah (9/151)

[7]. Jami ul-ushul (3/317) dan lihat 'Al-Adilah Al-Muthmainah ala Tsubutin naskh fii Kitab was Sunnah (103-105) dan "Al-Mughni" (8/650-651).

[8]. Diriwayatkan Muslim (1977), Abu Daud (2791), An-Nasa'i (7/211dan 212), Al-Baghawi (1127), Ibnu Majah (3149), Al-Baihaqi (9/266), Ahmad (6/289) dan (6/301 dan 311), Al-Hakim (4/220) dan Ath-Thahawi dalam "Syarhu Ma'anil Atsar" (4/181) dan jalan-jalan Ummu Salamah Radhiyallahu 'anha.

[9]. "Al-majmu" 98/302) dan Mughni Al-Muhtaj" (4/282) 'Syarhus Sunnah" (4/348) dan "Al-Muhalla" 98/3)

[10]. Majmu Al-Fatawa (22/162-163).

[11]. Sama dengan di atas

[12]. Diriwayatkan Ahmad (1/214,323, 355), Ibnu Majah (3883), Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah (1/114) dari Al-Fadl, namun pada isnadnya ada kelemahan. Akan tetapi ada jalan lain di sisi Abi Daud (1732), Ad-Darimi (2/28), Al-Hakim (1/448), Ahmad (1/225) dan padanya ada kelemahan juga, akan tetapi dengan dua jalan haditsnya hasan Insya Allah. Lihat 'Irwaul Ghalil" oleh ustadz kami Al-Albani (4/168-169)

[13]. Dalam 'Al-Binayah fi Syarhil Hadayah" (9/106-114)

[14]. Yang dimaksud adalah kitab "Al-Hadayah Syarhul Bidayah" dalam fiqih Hanafiyah. Kitab ini termasuk di antara kitab-kitab yang biasa digunakan dalam madzhab ini. Sebagaimana dalam "Kasyfudh Dhunun" (2/2031-2040). Kitab ini merupakan karya Imam Ali bin Abi Bakar Al-Marghinani, wafat tahun (593H), biografinya bisa dilihat dalam 'Al-Fawaidul Bahiyah" (141).

[15]. Aku tidak mendapat lafadh seperti iin, dan apa yang setelahnya cukup sebagai pengambilan dalil.

[16]. Diriwayatkan dengan lafadh ini oleh Muslim (844) dan Ibnu Um

Batal Suka

"KYAI ALI MANSUR PENCIPTA SHOLAWAT BADAR"

Kyai Ali Mansur adalah seorang kyai pencipta Sholawat Badar yang sangat terkenal dikalangan NU. Selain menjabat sebagai ketua pengurus NU Kabupaten Banyuwangi, ia juga menjabat sebagai kepala kantor Departemen Agama Banyuwangi. Dilihat sisi nasab, Kyai Ali Mansur adalah seorang cucu dari KH. Muhammad Shiddiq Jember.
Banyak orang yang tidak tahu bahwa Sholawat Badar adalah ciptaan Kyai Ali Mansur yang asli Indonesia. Orang banyak menyangka bahwa Sholawat Badar adalah sholawat atau madah produk Arab. Padahal, sesungguhnya Sholawat Badar baru terkenal setelah 1960 karena memang baru digubah oleh Kyai Ali Mansur pada tahun 1960.
Riwayat terciptanya Sholawat Badar ini penuh degan misteri dan teka-teki. Dalam Antonologi NU, pada suatu malam, Kyai Ali Mansur tidak bisa tidur. Hatinya merasa gelisah karena terus menerus memikirkan situasi politik yang semakin tidak menguntungkan NU. Orang-orang PKI semakin mendominasi kekuasaan di pedesaan.
Sambil merenung, Kyai Ali Mansur terus memainkan penanya diatas kertas, menulis syair-syair dalam Bahasa Arab. Dia memang dikenal mahir membuat syair sejak menjadi santri di Lirboyo Kediri. Kegelisahan Kyai Ali berbaur dengan rasa heran kerena malam sebelumnya dia bermimpi didatangi para Habaib berjubah putih-hijau. Semakin heran lagi karena pada saat yang sama istrinya mimpi bertemu dengan Rosululloh. Keesokan harinya, mimpi itu ditanyakan pada Habib Hadi al-Haddar Banyuwangi.
"Itu adalah Ahli Badar, ya akhi," jawab Habib Hadi.
Kedua mimpi aneh dan terjadi secara bersamaan itulah yang mendorong dirinya menulis syair, yang kemudian dengan Sholawat Badar. Keheranan muncul lagi karena keesokan harinya banyak tetangga yang datang kerumahnya sambil membawa beras, daging, dan barang-barang lain layaknya akan mendatangi orang yang akan punya hajat mantu. Mereka bercerita bahwa pada pagi-pagi buta, pintu rumah mereka didatangi orang berjubah yang memberitahu bahwa dirumah Kyai Ali Mansur akan ada kegiatan besar. Mereka diminta membantu. Maka, mereka membantu sesuai dengan kemampuannya.
"Siapa orang berjubah putih itu?"
Pertanyaan itu terus mengiang dalam benak Kyai Ali Mansur tanpa ada jawaban. Akan tetapi, malam itu banyak orang bekerja di dapur untuk menyambut kedatangan tamu, yang mereka sendiri tidak tahu "tamu" itu siapa, dari mana datangnya, dan untuk apa keperluan apa.
Menjelang matahari terbit, serombongan Habib berjubah putih-putih hijau yang dipimpin Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi dari Kwitang Jakarta datang kerumah Kyai Ali Mansur.
"Alhamdulillah..." ucap Kyai Ali Mansur ketika melihat rombongan yang datang adalah Habib yang sangat dihormati keluarganya.
Setelah berbincang agak lama, membahas perkembangan PKI dan kondisi politik yang tidak menguntungkan, Habib Ali al-Habsyi menanyakn topik lain yang tidak diduga oleh Kyai Ali Mansur.
"Ya akhi, mana syair yang ente buat kemarin? Tolong ente bacakan dan lagukan dihadapan kami-kami," kata Habib Ali al-Habsyi.
Tentu saja Kyai Ali Mansur terkejut, sebab ternyata Habib Ali al-Habsyi tahu apa yang dikerjakan Kyai Ali semalam.
Segera saja Kyai Ali mengambil kertas yang berisi catatan Sholawat Badar hasil gubahannya semalam, lalu melagukannya di hadapan mereka. Kebetulan Kyai Ali juga memiliki suara yang bagus. Para Habaib mendengarkannya dengan khusyuk sambil meneteskan air mata karena terharu dengan bait-bait syair Sholawat Badar.
Selesai mendengarkan Sholawat Badar, Habib Ali segera bangkit.
"Ya akhi, mari kita lawan Genjer-genjer PKI dengan Sholawat Badar!" serunya dengan nada suara mantap. Setelah Habib Ali memimpin doa, serombongan itu memohon diri. Sejak saat itu, terkenallah Sholawat Badar sebagai bacaan warga NU. Untuk lebih mempopulerkan Sholawat Badar, Habib Ali mengudang para Habaib dan Ulama termasuk Kyai Ali Mansur dan Ahmad Qusyairi, paman Kyai Ali Mansur untuk datang ke Kwitang Jakarta. Diforum istimewa itulah Sholawat Badar di kumandangkan secara luas oleh Kyai Mansur.

Kenangan di Borobudur


Kenangan di Studio

"PRIA DAN WANITA PERTAMA MASUK SURGA"

Pria pertama yang masuk syurga adalah Rasululloh shollallohu alaihi wasallam

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :



أَنَا أَكْثَرُ الْأَنْبِيَاءِ تَبَعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَأَنَا أَوَّلُ مَنْ يَقْرَعُ بَابَ الْجَنَّةِ



”Saya adalah nabi yang paling banyak pengikutnya pada hari kiamat. Dan saya adalah manusia yang pertama kali mengetuk pintu surga.” (HR. Muslim).



Dalam hadis lain, juga dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan,



آتِي بَابَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَأَسْتفْتِحُ، فَيَقُولُ الْخَازِنُ: مَنْ أَنْتَ؟ فَأَقُولُ: مُحَمَّدٌ، فَيَقُولُ: بِكَ أُمِرْتُ لَا أَفْتَحُ لِأَحَدٍ قَبْلَكَ



”Aku mendatangi pintu surga pada hari kiamat. Kemudian aku meminta agar dibukakan. Lalu penjaga pintu surga bertanya, ”Siapa kamu”

”Muhammad.” jawabku.

”Aku diperintahkan agar tidak membuka pintu untuk siapapun sebelum kamu.” jawab penjaga surga.” (HR.Muslim).



Dan wanita yg masuk syurga pertama kali adalah fatimah rodhiyallohu anha



«دلائل النبوة» (ج1 ص13):

عن أبي هريرة -رضي الله عنه- عن رسول الله -صلى الله عليه وعلى آله وسلم- قال: «أنا أول من يدخل الجنة ولا فخر، وأنا أول شافع وأول مشفع، وأنا بيدي لواء الحمد يوم القيامة ولا فخر، وأنا سيد ولد آدم يوم القيامة ولا فخر، وأول شخص يدخل علي الجنة فاطمة بنت محمد -صلى الله عليه وعلى آله وسلم-، ومثلها في هذه الأمة مثل مريم في بني إسرائيل».



Ta'bir tambahan tentang wanita yg pertama kali masuk syurga



كنز العمال في سنن الأقوال والأفعال (12/207)

34234 - أول شخص يدخل الجنة فاطمة بنت محمد ومثلها في هذه الأمة مثل مريم في بني إسرائيل

( أبو الحسن أحمد بن ميمون في كتاب فضائل علي والرافعي عن بدل بن المحبر عن عبد السلام ابن عجلان عن أبي يزيد المدني )

Batal Suka

"FACEBOOK DALAM PANDANGAN FIQH ISLAM"

Oleh : Ahmad Muflih Suradadi

Dalam pandangan agama ada beberapa qaidah yg perlu di masukkan ketika akan membahas hukum fiqh.

Diantaranya :ﺍﻟﺘﺼﺮﻑ ﻋﻠﻰ ﺭﻋﻴﺔ ﻣﻨﻮﻁ ﺑﺎﻟﻤﺼﻠﺤﻪ

Kebijakan pemimpin atas rakyatnya (harus) mempertiimbangkan Mashlahah.

ﺩﺭﺅ ﺍﻟﻤﻔﺎﺳﺪ ﻭﺟﻠﺐ ﺍﻟﻤﺼﺎﻟﺢ

Menolak kemafsadatan dan mengambil kemashlahatan.


ﺍﻷﺻﻞ ﻓﻰ ﺍﻷﺷﻴﺎﺀ ﺍﻹﺑﺎﺣﺔ ﺣﺘﻰ ﻳﺪﻝ ﺍﻟﺪﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺘﺤﺮﻳﻢ

Hukum asal sesuatu (benda/ barang) adalah boleh, hingga terdapat dalil yg mengharamkannya. (Imam Suyuthi, Al- Asybah wa al-Nazda`ir fi Al-Furu’, hal. 108; Imam Syaukani, Nailul Authar, 12/443).

Yang dimaksud dg al-asy- yaa’ (jama' dari asy- syai`) dalam kaidah ini adalah segala materi (zat) yg digunakan manusia dalam perbuatannya.

ﺍﻥ ﺍﻻﺷﻴﺎﺀ ﻳﺤﻜﻢ ﻳﺒﻘﺎﺋﻬﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﺻﻮﻟﻬﺎ ﻳﺘﻴﻘﻦ ﺧﻼﻑ ﺫﺍﻟﻚ

Sesuatu akan menempati hukum dasarnya secara lestari sebelum terdapat bukti yg meyakinkan untuk pindah pada hukum sebelumnya. Facebook bisa di analogikan dg VCD, TV, pisau, pistol, dan banyak lagi analogi yg bisa dipakai untuk menanggapi masalah facebook ini.

Ketika TV ini digunakan untuk melihat film Porno, maka jelas sekali hukumnya yaitu haram, tetapi kalau di pakai untuk melihat news atau semacamnya, maka sah- sah saja.

Begitu juga ketika pisau digunakan sesuai dg fungsinya yaitu memotong sayur- sayuran, memotong ikan, maka pisau ini dihukumi sah-sah saja, akan tetapi kalau digunakan menusuk sesorang maka lain lagi hukumnya.

ﺍﻟﻮﺳﻴﻠﻪ ﺍﻟﻰ ﺍﻟﺤﺮﺍﻡ ﺣﺮﺍﻡ

Segala perantaraan yg membawa kepada yg haram, hukumnya haram. (Al-Kasani, Bada`iu Ash-Shana`i’, 10/478; Izzuddin bin Abdis Salam, Qawa’id al- Ahkam fi Mashalih al- Anam, 2/402).

Kesimpulannya, facebook hukum asalnya mubah. Namun hukumnya menjadi haram jika digunakan untuk segala sesuatu yg telah diharamkan syariah Islam.

بلغة الطلاب في تلخيص فتاوي مشايخ الأنجاب ص 50-51 ؛

ﻣﺴﺌﻠﺔ : ﻟﻘﺪ ﻏﻠﻂ ﻣﻦ ﻗﺎﻝ ﺇﻥ ﺍﺳﺘﻌﻤﺎﻝ ﺍﻟﺘﻠﻴﻔﺰﻳﻮﻥ ﺣﺮﺍﻡ ﻣﻌﻠﻼ ﺑﻤﺎ ﻓﻴﻪ ﻣﻦ ﺍﻷﻏﺎﻧﻰ ﺍﻟﺨﻠﻴﻌﺔ ﻭﺑﺮﻭﺯ ﺻﻮﺭﺓ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﻋﻠﻰ ﺷﺎﺷﺎﺗﻪ ﺑﺼﻮﺭﺓ ﻣﻌﺮﻳﺔ ﻟﻠﺮﺟﺎﻝ ﻭﻧﺤﻮ ﺫﻟﻚ ﻷﻥ ﻫﺬﻩ ﺍﻷﻣﻮﺭ ﻻ ﺗﺠﻌﻠﻪ ﻣﺤﺮﻣﺎ ﻟﺬﺍﺗﻪ ﻟﻜﻮﻧﻬﺎ ﻋﺎﺭﺿﺔ. ﻭﺣﻘﻴﻘﺔ ﺍﻟﻘﻮﻝ ﻓﻴﻪ ﺃﻧﻪ ﺍﻟﺔ ﻋﺮﺽ ﻭﻫﻮ ﻣﻦ ﻭﺳﺎﺋﻞ ﺍﻹﻋﻼﻡ ﻓﻴﻌﺮﺽ ﻣﺎ ﻭﺿﻊ ﻓﻴﻪ ﺑﻄﺮﻳﻖ ﺍﻹﺭﺳﺎﻝ ﺳﻮﺍﺀ ﻛﺎﻥ ﺟﺎﺋﺰﺍ ﺃﻭ ﻻ ﻭﻫﺬﺍ ﻫﻮ ﺍﻟﻤﻌﻠﻮﻡ ﻣﻨﻪ ﻋﻠﻤﺎ ﺿﺮﻭﺭﻳﺎ. ﻭﻻ ﻳﻘﺎﻝ ﺇﻧﻪ ﺍﻟﺔ ﻟﻬﻮ ﻷﻥ ﺍﻟﺔ ﺍﻟﻠﻬﻮ ﻣﺎ ﺻﻨﻊ ﻟﻤﺤﺾ ﺍﻟﻠﻬﻮ ﻛﺎﻟﻤﺰﻣﺎﺭ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﺭﺅﻳﺔ ﺍﻟﺼﻮﺭﺓ ﻓﻰ ﺍﻟﺰﺟﺎﺟﺔ ﺃﻭ ﺍﻟﻤﺮﺍﺓ ﻻ ﺗﻜﻮﻥ ﺣﺮﺍﻣﺎ ﺇﻻ ﺇﺫﺍ ﺃﻓﺘﻨﺖ. ﻫﺬﺍ ﻣﻠﺨﺺ ﻣﺎ ﻓﻰ ﺍﻟﺮﺳﺎﻟﺔ ﺍﻟﻤﺴﻤﺎﺓ : ﺳﻠﻮﻙ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻹﻧﺼﺎﻑ ﻭﺍﻟﺒﻌﺪ ﻋﻦ ﺍﻟﻐﻠﻮ ﻭﺍﻹﻋﺘﺴﺎف . إهــ

Tidak benar orang yg mengatakan bahwa menggunakan televisi hukumnya haram dg alasan adanya tayangan-tayangan televisi yg berisi lagu-lagu yg mengumbar nafsu dan ditampilkannya gambar-gambar wanita telanjang bagi laki-laki dilayar kacanya atau hal-hal lain yg semacam itu.

Sebab tayangan-tayangan tersebut tidak menjadikan televisi hukumnya haram lidzatihi (haram karena bendanya), karena tayangan-tayangan tersebut adalah sesuatu yg sifatnya 'aridhi (datang kemudian).

Yg benar adalah bahwa televisi hanyalah alat penayangan, ia merupakan salah satu sarana informasi yg dapat menayangkan apa saja, baik itu perkara yg diperbolehkan ataukah tidak. Dan hal ini sebenarnya adalah sesuatu yg sudah diketahui secara umum.

Dan juga tidak bisa dikatakan bahwa televisi adalah sebuah alat malahi, sebab yg dikatakan alat malahi adalah suatu barang yg memang sejak awal dibuat untuk tujuan malahi, seperti gitar.

Begitu juga melihat gambar wanita pada kaca tidak dihukumi haram selama tidak menimbulkan fitnah. Penjelasan ini adalah kesimpulan dari apa yg diterangkan dalam kitab "Suluku Sabilil Inshaf Wal Bu'di Anil Ghuluwwi Wal I'tisaf (Mengambil jalan pertengahan, moderat dan menjauhi sikap berlebihan dan semena-mena).

"ASAL USUL HABIS GELAP TERBITLAH TERANG"

RA Kartini dan Kyai Sholeh Darat

(Sejarah Bangsa yang Digelapkan Orientalis Belanda) kartini

“Selama ini Al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romo Kyai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami.”.

Salah satu murid Mbah Kyai Sholeh Darat yang terkenal, tetapi bukan dari kalangan ulama adalah Raden Ajeng Kartini. Karena RA Kartini inilah Mbah Sholeh Darat menjadi pelopor penerjemahan Al-Qur’an ke Bahasa Jawa. Menurut catatan cucu Kyai Sholeh Darat (Hj. Fadhilah Sholeh), RA Kartini pernah punya pengalaman tidak menyenangkan saat mempelajari Islam. Guru ngajinya memarahinya karena dia bertanya tentang arti sebuah ayat Qur’an.

Biografi

Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Ia adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Dari sisi ayahnya, silsilah Kartini dapat dilacak hinggaHamengkubuwana VI. Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.

Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.

Surat Curhat Galau

Dalam suratnya kepada Stella Zihandelaar bertanggal 6 November 1899, RA Kartini menulis;

Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya?

Alquran terlalu suci; tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun, agar bisa dipahami setiap Muslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti Bahasa Arab. Di sini, orang belajar Alquran tapi tidak memahami apa yang dibaca.

Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghafal Bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya.

Aku pikir, tidak jadi orang soleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella?

RA Kartini melanjutkan curhat-nya, tapi kali ini dalam surat bertanggal 15 Agustus 1902 yang dikirim ke Ny Abendanon.

Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlu dan manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Alquran, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya.

Jangan-jangan, guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepada aku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa. Kita ini teralu suci, sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya.

Bertemu Kyai Sholeh Darat

Kalau membaca surat surat Kartini yang diterbitkan oleh Abendanon dari Belanda, terkesan Raden Ajeng Kartini sudah jadi sekuler dan penganut feminisme. Namun kisah berikut ini semoga bisa memberi informasi baru mengenai apresiasi Kartini pada Islam dan Ilmu Tasawuf.

Mengapa? Karena dalam surat surat RA Kartini yang notabene sudah diedit dan dalam pengawasan Abendanon yang notabene merupakan aparat pemerintah kolonial Belanda plus Orientalis itu, dalam surat surat Kartini beliu sama sekali tidak menceritakan pertemuannya dengan Kyai Sholeh bin Umar dari Darat, Semarang — lebih dikenal dengan sebutan Kyai Sholeh Darat. Alhamdullilah, Ibu Fadhila Sholeh, cucu Kyai Sholeh Darat, tergerak menuliskan kisah ini.

Takdir, menurut Ny Fadihila Sholeh, mempertemukan Kartini dengan Kyai Sholel Darat. Pertemuan terjadi dalam acara pengajian di rumah Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat, yang juga pamannya.

Kemudian ketika berkunjung ke rumah pamannya, seorang Bupati Demak, RA Kartini menyempatkan diri mengikuti pengajian yang diberikan oleh Mbah Sholeh Darat. Saat itu beliau sedang mengajarkan tafsir Surat al-Fatihah. RA Kartini menjadi amat tertarik dengan Mbah Sholeh Darat.

Kyai Sholeh Darat memberikan ceramah tentang tafsir Al-Fatihah. Kartini tertegun. Sepanjang pengajian, Kartini seakan tak sempat memalingkan mata dari sosok Kyai Sholeh Darat, dan telinganya menangkap kata demi kata yang disampaikan sang penceramah.

Ini bisa dipahami karena selama ini Kartini hanya tahu membaca Al Fatihah, tanpa pernah tahu makna ayat-ayat itu.

Setelah pengajian, Kartini mendesak pamannya untuk menemaninya menemui Kyai Sholeh Darat. Sang paman tak bisa mengelak, karena Kartini merengek-rengek seperti anak kecil. Berikut dialog Kartini-Kyai Sholeh.

“Kyai, perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu menyembunyikan ilmunya?” Kartini membuka dialog.

Kyai Sholeh tertegun, tapi tak lama. “Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?” Kyai Sholeh balik bertanya.

“Kyai, selama hidupku baru kali ini aku berkesempatan memahami makna surat Al Fatihah, surat pertama dan induk Al Quran. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku,” ujar Kartini.

Kyai Sholeh tertegun. Sang guru seolah tak punya kata untuk menyela. Kartini melanjutkan; “Bukan buatan rasa syukur hati ini kepada Allah. Namun, aku heran mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al Quran ke dalam Bahasa Jawa. Bukankah Al Quran adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”

Dialog berhenti sampai di situ. Ny Fadhila menulis Kyai Sholeh tak bisa berkata apa-apa kecuali subhanallah. Kartini telah menggugah kesadaran Kyai Sholeh untuk melakukan pekerjaan besar; menerjemahkan Alquran ke dalam Bahasa Jawa.

Habis Gelap Terbitlah Terang

Dalam pertemuan itu RA Kartini meminta agar Qur’an diterjemahkan karena menurutnya tidak ada gunanya membaca kitab suci yang tidak diketahui artinya. Tetapi pada waktu itu penjajah Belanda secara resmi melarang orang menerjemahkan al-Qur’an. Mbah Sholeh Darat melanggar larangan ini, Beliau menerjemahkan Qur’an dengan ditulis dalam huruf “arab gundul” (pegon) sehingga tak dicurigai penjajah.

Kitab tafsir dan terjemahan Qur’an ini diberi nama Kitab Faidhur-Rohman, tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. Kitab ini pula yang dihadiahkannya kepada R.A. Kartini pada saat dia menikah dengan R.M. Joyodiningrat, seorang Bupati Rembang. Kartini amat menyukai hadiah itu dan mengatakan:

“Selama ini Al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romo Kyai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami.”

{inilah dasar dari buku “Habis gelap terbitlah terang” bukan dari sekumpulan surat menyurat beliau,.. sejarah telah di simpangkan, (penulis red)}.

Melalui terjemahan Mbah Sholeh Darat itulah RA Kartini menemukan ayat yang amat menyentuh nuraninya yaitu:

Orang-orang beriman dibimbing Alloh dari gelap menuju cahaya(Q.S. al-Baqoroh: 257).

Dalam banyak suratnya kepada Abendanon, Kartini banyak mengulang kata “Dari gelap menuju cahaya” yang ditulisnya dalam bahasa Belanda: “Door Duisternis Toot Licht.” Oleh Armijn Pane ungkapan ini diterjemahkan menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang,” yang menjadi judul untuk buku kumpulan surat-menyuratnya.

Surat yang diterjemahkan Kyai Sholeh adalah Al Fatihah sampai Surat Ibrahim. Kartini mempelajarinya secara serius, hampir di setiap waktu luangnya. Namun sayangnya penerjemahan Kitab Faidhur-Rohman ini tidak selesai karena Mbah Kyai Sholeh Darat keburu wafat.

Kyai Sholeh membawa Kartini ke perjalanan transformasi spiritual. Pandangan Kartini tentang Barat (baca: Eropa) berubah. Perhatikan surat Kartini bertanggal 27 Oktober 1902 kepada Ny Abendanon.

Sudah lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar yang terbaik, tiada tara. Maafkan kami. Apakah ibu menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban.

Tidak sekali-kali kami hendak menjadikan murid-murid kami sebagai orang setengah Eropa, atau orang Jawa kebarat-baratan.

Dalam suratnya kepada Ny Van Kol, tanggal 21 Juli 1902, Kartini juga menulis;

Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama disukai.

Lalu dalam surat ke Ny Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis;

Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah.

(Berbagai sumber)

* Kyai Sholeh Darat Semarang adalah guru para ulama besar di indonesia diantaranya: KH. A.Dahlan (pendiri muhamadiyah) KH. Hasyim Asyari (pendiri Nahdlatul Ulama NU)



SAYA KOPAS DARI: http://www.sarkub.com/2012/ra-kartini-dan-kyai-sholeh-darat-sejarah-bangsa-yang-digelapkan-orientalis-belanda/

Minggu, 16 November 2014

"KEUTAMAAN JIMA' DI MALAM JUM'AT"

Dalam kitab Ihya' Ulumiddin disebutkan sebuah riwayat:

روي عن النبي صلى الله عليه وسلم إن الرجل ليجامع أهله فيكتب له بجماعه أجر ولد ذكر قاتل في سبيل الله فقتل.

Diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW bahwa “Sesungguhnya seorang suami yang menggauli (Jima') istrinya, maka jima'nya itu dicatat memperoleh pahala seperti pahalanya anak lelaki yang berperang (dgn Kaum Kuffar) di jalan Allah lalu terbunuh"[1]

Meskipun riwayat tsb dinilai 'tidak ada asalnya' (لم أجد له أصلا) oleh Al-Iraqi, tp paling tidak riwayat dalam kitab ini yang menjadi pijakan masyarakat demi menggalakkan Jima' yang juga salahsatu sunnah Rasul dimalam Jum'at, demikian seperti yang dijelaskan oleh Imam Ghazali dihalaman lain kitab ini:

ومن العلماء من استحب الجماع يوم الجمعة وليلته تحقيقاً لأحد التأويلين من قوله صلى الله عليه وسلم: " رحم الله من غسل واغتسل الحديث

Dan ada sebagian ulama yg menyukai jima' pd hari dan malam jumat, sbg aplikasi dari salah satu takwil hadits; "Allah merahmati orang yg membersihkan dan mandi (pd hari jumat)".[2]

Demikian juga dalam syarah Sunan At-Tirmidzy, disebutkan :

وبقوله اغتسل غسل سائر بدنه ، وقيل : جامع زوجته .

Dan dgn sabdanya “mandi” (pada hari jumat), yaitu memandikan seluruh badannya, dan dikatakan pula maknanya adalah menjima’ istrinya".[3]

Wallahu a'lam
______________________________

[1] Kitab Ihya' Ulumiddin Lil Ghozali, Juz 2 Hlm. 326
[2] Ibid, Ihya', juz 2 hlm 324
[3] Tuhfatul Ahwadziy Lil Mubarakfuri, Juz 3 hlm 3



Keutamaan Menggauli Istri di Hari Jum'at
Jima' atau hubungan seks dalam pandangan Islam bukanlah hal aib dan hina yang harus dijauhi oleh seorang muslim yang ingin menjadi hamba yang mulia di sisi Allah. Hal ini berbeda dengan pandangan agama lain yang menilai persetubuhan sebagai sesuatu yang hina. Bahkan, sebagian ajaran agama tertentu mewajibkan untuk menjauhi pernikahan dan hubungan seks guna mencapai derajat tinggi dalam beragama.

Diriwayatkan dalam shahihain, dari Anas bin Malik pernah menceritakan, ada tiga orang yang datang ke rumah istri-istri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam untuk menanyakan tentang ibadah beliau. Ketika diberitahukan, seolah-olah mereka saling bertukar pikiran dan saling bercakap bahwa mereka tidak bisa menyamai Nabi shallallahu 'alaihi wasallam karena dosa beliau yang lalu dan akan datang sudah diampuni. Lalu salah seorang mereka bertekad akan terus-menerus shalat malam tanpa tidur, yang satunya bertekad akan terus berpuasa setahun penuh tanpa bolong, dan satunya lagi bertekad akan menjauhi wanita dengan tidak akan menikah untuk selama-lamanya. Kabar inipun sampai ke telinga baginda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, lantas beliu bersabda kepada mereka, "Apakah kalian yang mengatakan begini dan begitu? Adapun saya, Demi Allah, adalah orang yang paling takut dan paling takwa kepada Allah di bandingkan kalian, tapi saya berpuasa dan juga berbuka, saya shalat (malam) dan juga tidur, serta menikahi beberapa wanita. Siapa yang membenci sunnahku bukan bagian dari umatku." (Muttafaq 'alaih)

Bahkan dalam hadits lain disebutkan bahwa seks atau hubungan badan di jalan yang benar akan mendatangkan pahala besar. Diriwayatkan dari Abu Dzar, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرًا

"Dan pada kemaluan (persetubuhan) kalian terdapat sedekah. Mereka (para sahabat) bertanya, 'Ya Rasulullah, apakah salah seorang dari kami yang menyalurkan syahwatnya lalu dia mendapatkan pahala?' Beliau bersabda, 'Bagaimana pendapat kalian seandainya hal tersebut disalurkan pada tempat yang haram, bukankah baginya dosa? Demikianlah halnya jika hal tersebut diletakkan pada tempat yang halal, maka dia mendapatkan pahala." (HR. Muslim)

....Di dalam perkawinan terdapat kesempurnaan hidup, kenikmatan dan kebaikan kepada sesama....

Ibnul Qayyim, sebagaimana yang dinukil oleh Al-Istambuli dalam Tuhfatul 'Arus, mengatakan, "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengajak kepada umatnya agar melaksanakan pernikahan, senang dengannya dan mengharapkan (padanya) suatu pahala serta sedekah bagi yang telah melaksanakannya. Di dalam perkawinan terdapat kesempurnaan hidup, kenikmatan dan kebaikan kepada sesama. Di samping itu, juga mendapatkan pahala sedekah, mampu menenangkan jiwa, menghilangkan pikiran kotor, menyehatkan menolak keinginan-keinginan yang buruk."

Kesempurnaan nikmat dalam perkawinan dan jima' akan diraih oleh orang yang mencintai dan dengan keridlaan Rabbnya dan hanya mencari kenikmatan di sisinya serta mengharapkan tambahan pahala untuk memperberat timbangan kebaikannya. Oleh karena itu yang sangat disenangi syetan adalah memisahkan suami dari kekasihnya dan menjerumuskan keduanya ke dalam tindakan yang diharamkan Allah.

Disebutkan dalam Shahih Muslim, bahwa Iblis membangun istana di atas air (tipu muslihat), kemudian menyebarkan istananya itu kepada manusia. Lalu iblis mendekatkan rumah mereka dan membesar-besarkan keinginan (hayalan) mereka. Iblis berkata, 'Tidak ada perubahan kenikmatan sampai terjadi perzinaan'. Yang lainnya berkata, 'Aku tidak akan berpaling sampai mereka berpisah dari keluarganya.' Maka iblis menenangkannya dan menjadikan dirinya berseru, 'Benarlah apa yang telah engkau lakukan'.

Kenapa Iblis begitu bersemangat untuk menjerumuskan orang ke dalam perzinaan dan perceraian? Karena pernikahan dan berjima dalam balutan perkawinan adalah sangat dicintai Allah dan Rasul-Nya. Makanya hal ini sangat dibenci oleh musuh manusia. Ia selalu berusaha memisahkan pasangan yang berada berada dalam naungan ridla ilahi dan berusaha menghiasi mereka dengan segala sifat kemungkaran dan perbuatan keji serta menciptakan kejahatan di tengah-tengah mereka.

Untuk itu hendaknya bagi suami-istri agar mewaspai keinginan syetan dan usahanya dalam memisahkan mereka berdua. Ibnul Qayim berkata dalam menta'liq hadits anjuran menikah bagi pemuda yang sudah ba'ah, "Setiap kenikmatan membantu terhadap kenikmatan akhirat, yaitu kenikmatan yang disenangi dan diridlai oleh Allah."

Seorang suami dalam aktifitasnya bersama istrinya akan mendapatkan kenikmatan melalui dua arah. Pertama, dari sisi kebahagiaan suami yang merasa senang dengan hadirnya seorang istri sehingga perasaan dan juga penglihatannya merasakan kenikmatan tersebut. Kedua, dari segi sampainya kepada ridla Allah dan memberikan kenikmatan yang sempurna di akhirat. Oleh karena itu, sudah selayaknya bagi orang berakal untuk menggapai keduanya. Bukan sebaliknya, menggapai kenikmatan semu yang beresiko mendatangkan penyakit dan kesengsaraan serta menghilangkan kenikmatan besar baginya di akhirat. (Lihat: Ibnul Qayyim dalam Raudhatul Muhibbin, hal. 60)

Jima' di hari Jum'at

Uraian keutamaan hubungan suami istri di atas sebenarnya sudah cukup menunjukkan pahala besar dalam aktifitas ranjang. Lalu adakah dalil khusus yang menunjukkan keutamaan melakukan jima' di hari Jum'at dengan pahala yang lebih berlipat?

Memang banyak pembicaran dan perbincangan yang mengarah ke sana bahwa seolah-olah malam Jum'at dan hari Jum'at adalah waktu yang cocok untuk melakukan hubungan suami-istri. Keduanya akan mendapatkan pahala berlipat dan memperoleh keutamaan khusus yang tidak didapatkan pada hari selainnya. Kesimpulan tersebut tidak bisa disalahkan karena ada beberapa dalil pendukung yang menunjukkan keutamaan mandi janabat pada hari Jum'at. Sedangkan mandi janabat ada dan dilakukan setelah ada aktifitas percintaan suami-istri.

Dari Abu Hurairah radliyallhu 'anhu, dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً فَإِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ حَضَرَتْ الْمَلَائِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ

"Barangsiapa mandi di hari Jum’at seperti mandi janabah, kemudian datang di waktu yang pertama, ia seperti berkurban seekor unta. Barangsiapa yang datang di waktu yang kedua, maka ia seperti berkurban seekor sapi. Barangsiapa yang datang di waktu yang ketiga, ia seperti berkurban seekor kambing gibas. Barangsiapa yang datang di waktu yang keempat, ia seperti berkurban seekor ayam. Dan barangsiapa yang datang di waktu yang kelima, maka ia seperti berkurban sebutir telur. Apabila imam telah keluar (dan memulai khutbah), malaikat hadir dan ikut mendengarkan dzikir (khutbah).” (HR. Bukhari no. 881 Muslim no. 850).

Para ulama memiliki ragam pendapat dalam memaknai "ghuslal janabah" (mandi janabat). Sebagaian mereka berpendapat bahwa mandi tersebut adalah mendi janabat sehingga disunnahkan bagi seorang suami untuk menggauli istrinya pada hari Jum'at. karena hal itu lebih bisa membantunya untuk menundukkan pandangannya ketika berangkat ke masjid dan lebih membuat jiwanya tenang serta bisa melaksanakan mandi besar pada hari tersebut. Pemahaman ini pernah disebutkan oleh Ibnu Qudamah dari Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah dan juga disebutkan oleh sekelompok ulama Tabi'in. Imam al-Qurthubi berkata, "sesungguhnya dia adalah pendapat yang peling tepat." (Lihat: Aunul Ma'bud: 1/396 dari Maktabah Syamilah)

Pendapat di atas juga mendapat penguat dari riwayat Aus bin Aus radliyallah 'anhu yang berkata, "Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

مَنْ غَسَّلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَاغْتَسَلَ ثُمَّ بَكَّرَ وَابْتَكَرَ وَمَشَى وَلَمْ يَرْكَبْ وَدَنَا مِنْ الْإِمَامِ فَاسْتَمَعَ وَلَمْ يَلْغُ كَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ عَمَلُ سَنَةٍ أَجْرُ صِيَامِهَا وَقِيَامِهَا

"Barangsiapa mandi pada hari Jum'at, berangkat lebih awal (ke masjid), berjalan kaki dan tidak berkendaraan, mendekat kepada imam dan mendengarkan khutbahnya, dan tidak berbuat lagha (sia-sia), maka dari setiap langkah yang ditempuhnya dia akan mendapatkan pahala puasa dan qiyamulail setahun." (HR. Abu Dawud no. 1077, Al-Nasai no. 1364, Ibnu Majah no. 1077, dan Ahmad no. 15585 dan sanad hadits ini dinyatakan shahih)

Menurut penjelasan dari Syaikh Mahmud Mahdi Al-Istambuli dalam Tuhfatul 'Arus, bahwa yang dimaksud dengan mandi jinabat pada hadits di atas adalah melaksanakan mandi bersama istri. Ini mengandung makna bahwa sebelumnya mereka melaksanakan hubungan badan sehingga mengharuskan keduanya melaksanakan mandi. Hikmahnya, hal itu disinyalir dapat menjaga pandangan pada saat keluar rumah untuk menunaikan shalat Jum'at. Adapun yang dimaksud dengan bergegas pergi menuju ke tempat pelaksanaan shalat Jum'at pada awal waktu, adalah untuk memperoleh kehutbah pertama. (Lihat: Tuhfatul Arus dalam Edisi Indonesia Kado Perkawinan, hal. 175-176) Wallahu a'lam.

Rabu, 29 Oktober 2014

"MENGUSAP KEPALA ANAK YATIM DI BULAN MUHARRAM"

"MENGUSAP KEPALA ANAK YATIM DI BULAN MUHARRAM"


ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﻗﺎﻝ ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻣﻦ ﺻﺎﻡ ﻳﻮﻡ

ﻋﺎﺷﻮﺭﺍﺀ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺤﺮﻡ ﺍﻋﻄﺎﻩ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻲ ﺛﻮﺍﺏ ﻋﺸﺮﺓ ﺍﻻﻑ ﻣﻠﻠﻚ ﻭﻣﻦ ﺻﺎﻡ ﻳﻮﻡ ﻋﺎﺷﻮﺭﺍﺀ ﻣﻦ

ﺍﻟﻤﺤﺮﻡ ﺍﻋﻄﻲ ﺛﻮﺍﺏ ﻋﺸﺮ ﺷﻬﻴﺪ ﻭﻣﻦ ﻣﺴﺢ ﻳﺪﻩ ﻋﻠﻲ ﺭﺍﺱ ﻳﺘﻴﻢ ﻳﻮﻡ ﻋﺎﺷﻮﺭﺍﺀ ﺭﻓﻊ ﺍﻟﻠﻪ

ﺗﻌﺎﻟﻲ ﻟﻪ ﺑﻜﻞ ﺷﻌﺮﺓ ﺩﺭﺟﺔ


Diriwayatkan dari Ibn Abbas ra. Ia berkata : Rosulullah

shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Barang siapa puasa pada hari ‘asyura( tanggal10)

muharram, Allah memberikan 10.000 pahala malaikat

Barang siapa puasa pada hari ‘asyura( tanggal10) muharram,

Allah memberikan pahala 10.000 para syuhada’

Dan barang siapa mengusap kepala anak yatim pad tgl 10

muharram, Allah mengangkat derajatnya dengan setiap

rambut yg diusap”

Manaahiij al-Imdaad I/521



ﻭﻭﺭﺩ ﻓﻲ ﻓﻀﻞ ﻣﺴﺢ ﺭﺃﺱ ﺍﻟﻴﺘﻴﻢ ﺣﺪﻳﺚ ﺃﺧﺮﺟﻪ ﺍﺣﻤﺪ ﻭﺍﻟﻄﺒﺮﺍﻧﻲ ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﺍﻣﺎﻣﺔ ﺑﻠﻔﻆ ﻣﻦ

ﻣﺴﺢ ﺭﺃﺱ ﻳﺘﻴﻢ ﻻ ﻳﻤﺴﺤﻪ ﺍﻻ ﻟﻠﻪ ﻛﺎﻥ ﻟﻪ ﺑﻜﻞ ﺷﻌﺮﺓ ﺗﻤﺮ ﻳﺪﻩ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﺣﺴﻨﺔ ﻭﺳﻨﺪﻩ ﺿﻌﻴﻒ

ﻭﻷﺣﻤﺪ ﻣﻦ ﺣﺪﻳﺚ ﺃﺑﻲ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﺍﻥ ﺭﺟﻼ ﺷﻜﻰ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻗﺴﻮﺓ ﻗﻠﺒﻪ

ﻓﻘﺎﻝ ﺍﻃﻌﻢ ﺍﻟﻤﺴﻜﻴﻦ ﻭﺍﻣﺴﺢ ﺭﺃﺱ ﺍﻟﻴﺘﻴﻢ ﻭﺳﻨﺪﻩ ﺣﺴﻦ


Dan telah datang penjelasan hadits-hadits mengenai

keutamaan mengusap kepala anak yatim yang diriwayatkan

oleh Imam Ahmad dan At-Thabraany dari riwayat Abu

Umamah dengan pernyataan “Barangsiapa mengusap kepala

anak yatim yang semata-mata karena Allah disetiap rambut

yang ia usap, Allah berikan kebaikan” (sanadnya dho’if)

Juga hadits dari riwayat Abu Hurairah “Sesungguhnya

seorang lelaki mengadu pada Nabi shallallaahu alaihi

wasallam tentang kerasnya hatinya, Nabi bersabda ‘Berikan

makanan orang miskin dan usaplah kepala anak yatim” (HR.

Ahmad, sanadnya Hasan)

Fath al-Baari XI/151

PENGERTIAN MENGUSAP KEPALA ANAK YATIM


Menurut Ibn Hajar al-Haytamy maksud mashu ro’si yatiim

(mengusap kepala anak yatim) diatas adalah makna hakiki

(arti sebenarnya)


ﻭﺍﻟﻤﺮﺍﺩ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺴﺢ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ ﺣﻘﻴﻘﺘﻪ ﻛﻤﺎ ﺑﻴﻨﻪ ﺁﺧﺮ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻭﻫﻮ ( ﻣﻦ ﻣﺴﺢ ﺭﺃﺱ

ﻳﺘﻴﻢ ﻟﻢ ﻳﻤﺴﺤﻪ ﺇﻻ ﻟﻠﻪ ﻛﺎﻥ ﻟﻪ ﺑﻜﻞ ﺷﻌﺮﺓ ﺗﻤﺮ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻳﺪﻩ ﻋﺸﺮ ﺣﺴﻨﺎﺕ ﻭﻣﻦ ﺃﺣﺴﻦ ﺇﻟﻰ

ﻳﺘﻴﻤﺔ ﺃﻭ ﻳﺘﻴﻢ ﻋﻨﺪﻩ ﻛﻨﺖ ﺃﻧﺎ ﻭﻫﻮ ﻓﻲ ﺍﻟﺠﻨﺔ ﻛﻬﺎﺗﻴﻦ ﻭﻗﺮﻥ ﺑﻴﻦ ﺃﺻﺒﻌﻴﻪ ) .

ﻭﺧﺺ ﺍﻟﺮﺃﺱ ﺑﺬﻟﻚ ﻷﻥ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺴﺢ ﻋﻠﻴﻪ ﺗﻌﻈﻴﻤﺎً ﻟﺼﺎﺣﺒﻪ ﻭﺷﻔﻘﺔ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﻣﺤﺒﺔ ﻟﻪ ﻭﺟﺒﺮﺍً

ﻟﺨﺎﻃﺮﻩ ، ﻭﻫﺬﻩ ﻛﻠﻬﺎ ﻣﻊ ﺍﻟﻴﺘﻴﻢ ﺗﻘﺘﻀﻲ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺜﻮﺏ ﺍﻟﺠﺰﻳﻞ ، ﻭﺃﻣﺎ ﺟﻌﻞ ﺫﻟﻚ ﻛﻨﺎﻳﺔ ﻋﻦ

ﺍﻹﺣﺴﺎﻥ ﻓﻬﻮ ﻏﻴﺮ ﻣﺤﺘﺎﺝ ﺇﻟﻴﻪ ﻷﻥ ﺛﻮﺍﺏ ﺍﻹﺣﺴﺎﻥ ﺍﻟﺬﻱ ﻫﻮ ﺃﻋﻠﻰ ﻭﺃﺟﻞّ ﻗﺪ ﺫﻛﺮ ﺑﻌﺪﻩ ﻭﺃﻳﻦ

ﺍﻟﻘﺮﺏ ﻣﻨﻪ ( ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ) ﻓﻲ ﺍﻟﺠﻨﺔ ﺣﺘﻰ ﻳﻜﻮﻧﺎ ﻛﺎﻷﺻﺒﻌﻴﻦ ﻣﻦ ﺇﻋﻄﺎﺀ ﺣﺴﻨﺎﺕ

ﺑﻌﺪﺩ ﺷﻌﺮ ﺍﻟﺮﺃﺱ ، ﻓﺸﺘﺎﻥ ﻣﺎ ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ ﺇﺫ ﺍﻷﻭﻝ ﺃﻛﻤﻞ ﻭﺃﻋﻈﻢ ﻭﻋﻠﻰ ﺍﻟﺘﻨﺰﻝ ﻭﺃﻧﻪ ﺃﺭﻳﺪ ﺑﺬﻟﻚ

ﺍﻟﻜﻨﺎﻳﺔ ﺍﻟﻤﺬﻛﻮﺭﺓ ﻓﻴﻜﻮﻥ ﻗﻮﻟﻪ ( ﻛﺎﻥ ﻟﻪ ) ﺇﻟﺦ ﻛﻨﺎﻳﺔ ﻋﻦ ﻋﻈﻴﻢ ﺍﻟﺠﺰﺍﺀ ، ﻭﺃﻧﻪ ﻟﻌﻈﻤﺘﻪ ﻟﻮ

ﻭﺟﺪ ﻓﻲ ﺍﻟﺨﺎﺭﺝ ﻟﻜﺎﻥ ﺃﻛﺜﺮ ﻣﻦ ﻋﺪﺩ ﺷﻌﺮ ﺍﻟﺮﺃﺱ ﺑﻜﺜﻴﺮ ، ﻓﻴﻜﻮﻥ ﺍﻟﺘﺠﻮّﺯ ﻭﺍﻟﻜﻨﺎﻳﺔ ﻓﻲ

ﺍﻟﻄﺮﻓﻴﻦ ﻃﺮﻑ ﺍﻟﻔﻌﻞ ﻭﻃﺮﻑ ﺍﻟﺠﺰﺍﺀ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺍﻟﻜﻨﺎﻳﺔ ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻧﺖ ﺃﺑﻠﻎ ﻣﻦ ﺍﻟﺤﻘﻴﻘﺔ ﺇﻻ ﺃﻥ ﻣﺤﻞ

ﺍﻟﺤﻤﻞ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﺣﻴﺚ ﻟﻢ ﻳﻤﻨﻊ ﻣﻨﻬﺎ ﻣﺎﻧﻊ ، ﻭﻗﺪ ﻋﻠﻤﺖ ﺃﻥ ﺁﺧﺮ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻳﻌﻴﻦ ﺍﻟﺤﻤﻞ ﻋﻠﻰ

ﺍﻟﺤﻘﻴﻘﺔ ﻹﻓﺎﺩﺗﻪ ﺃﻥ ﻣﺎ ﺑﻌﺪﻩ ﻳﻜﻮﻥ ﺗﺄﺳﻴﺴﺎً ، ﻭﻫﻮ ﺧﻴﺮ ﻣﻦ ﺍﻟﺘﺄﻛﻴﺪ ﺍﻟﻼﺯﻡ ﻟﻠﺤﻤﻞ ﻋﻠﻰ

ﺍﻟﻜﻨﺎﻳﺔ ﻓﺎﻓﻬﻢ ﺫﻟﻚ ﻭﺗﺄﻣﻠﻪ . ﺛﻢ ﺭﺃﻳﺖ ﺃﺣﺎﺩﻳﺚ ﺻﺮﻳﺤﺔ ﺑﺄﻥ ﺍﻟﻤﺮﺍﺩ ﺑﺎﻟﻤﺴﺢ ﺣﻘﻴﻘﺘﻪ .


Yang dimaksud dengan mengusap dalam hadits kedua diatas adalah arti sebenarnya seperti dijelaskan pada hadits lain


“Barangsiapa mengusap kepala anak yatim yang semata-

mata karena Allah disetiap rambut yang ia usap, Allah berikan sepuluh kebaikan, dan barangsiapa memperbaiki anak yatim perempuan atau laki-laki yang ada didekatnya niscaya aku dan dia disurga bersanding seperti ini (Dan Nabi menggandengkan antara jemarinya)”

Kepala menjadi hal yang istimewa untuk disebutkan dalam hadits-hadits diatas karena mengusap kepala mengandung pengertian adanya kasih saying, rasa cinta dan mengayomi akan kebutuhan yang diusap, dan kesemuanya bila dilakukan pada anak yatim berhak mendapatkan pahala yang agung. Sedang mengartikan ‘mengusap’ dalam hadits diatas dengan arti kinayah (sindiran-bukan sebenarnya) dalam pengertian

‘berbuat baik’ tidaklah dibutuhkan…. dst

Al-Fataawaa al-Haditsiyyah Li Ibni Hajar I/43

ﺍﻟﻤﻼ ﻋﻠﻲ ﺍﻟﻘﺎﺭﻱ


Namun menurut imam at toyyi dalam kitab Marqaah al-

Mafaatiih Imam al-Malaa Ali al-Qaariy al-Hanafy yang

dimaksud kata ‘mengusap’ pada hadits diatas adalah arti

kinayah dari memberikan kasih sayang serta berbuat penuh

kelembutan dan cinta kasih pada mereka .


ﻭﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﺃﻣﺎﻣﺔ ﺃﻱ ﺍﻟﺒﺎﻫﻠﻲ ﻗﺎﻝ ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﻦ ﻣﺴﺢ ﺭﺃﺱ ﻳﺘﻴﻢ ﻭﻛﺬﺍ ﺣﻜﻢ ﺍﻟﻴﺘﻴﻤﺔ ﺑﻞ

ﻫﻲ ﺍﻷﻭﻟﻰ ﺑﺎﻟﺤﻨﻴﺔ ﻟﻀﻌﻔﻬﺎ ﺛﻢ ﺍﻟﺘﻨﻜﻴﺮ ﻳﻔﻴﺪ ﺍﻟﻌﻤﻮﻡ ﻓﻴﺸﻤﻞ ﺍﻟﻘﺮﻳﺐ ﻭﺍﻷﺟﻨﺒﻲ ﻳﻜﻮﻥ ﻋﻨﺪﻩ ﺃﻭ

ﻋﻨﺪ ﻏﻴﺮﻩ ﻟﻢ ﻳﻤﺴﺤﻪ ﺣﺎﻝ ﻣﻦ ﻓﺎﻋﻞ ﻣﺴﺢ ﺃﻱ ﻭﺍﻟﺤﺎﻝ ﺃﻧﻪ ﻟﻢ ﻳﻤﺴﺢ ﺭﺃﺱ ﺍﻟﻴﺘﻴﻢ ﺇﻻ ﻟﻠﻪ ﺃﻱ

ﻻ ﻟﻐﺮﺽ ﺳﻮﺍﻩ ﻛﺎﻥ ﻟﻪ ﺃﻱ ﻟﻠﻤﺎﺳﺢ ﺑﻜﻞ ﺷﻌﺮﺓ ﺑﺴﻜﻮﻥ ﺍﻟﻌﻴﻦ ﻭﻳﻔﺘﺢ ﺃﻱ ﺑﻜﻞ ﻭﺍﺣﺪﺓ ﻣﻦ ﺷﻌﺮ

ﺭﺃﺳﻪ ﻳﻤﺮ ﺑﺎﻟﺘﺬﻛﻴﺮ ﻭﻳﺆﻧﺚ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺮﻭﺭ ﺃﻱ ﻳﺄﺗﻲ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻭﻛﺬﺍ ﺣﻜﻢ ﻣﺤﺎﺫﻳﻬﺎ ﻳﺪﻩ ﻭﻓﻲ ﻧﺴﺨﺔ

ﻣﻦ ﺍﻹﻣﺮﺍﺭ ﻓﻔﺎﻋﻠﻪ ﺿﻤﻴﺮ ﺍﻟﻤﺎﺳﺢ ﻭﻳﺪﻩ ﻣﻔﻌﻮﻟﻪ ﺣﺴﻨﺎﺕ ﺑﺎﻟﺮﻓﻊ ﻋﻠﻰ ﺍﺳﻢ ﻛﺎﻥ ﻭﺍﻟﻈﺎﻫﺮ ﺃﻥ

ﺍﻟﺤﺴﻨﺎﺕ ﻣﺨﺘﻠﻔﺔ ﻛﻤﻴﺔ ﻭﻛﻴﻔﻴﺔ ﺑﺎﻋﺘﺒﺎﺭ ﺗﺤﺴﻴﻦ ﺍﻟﻨﻴﺎﺕ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻄﻴﺒﻲ ﻣﺴﺢ ﺭﺃﺱ ﺍﻟﻴﺘﻴﻢ ﻛﻨﺎﻳﺔ

ﻋﻦ ﺍﻟﺸﻔﻘﺔ ﻭﺍﻟﺘﻠﻄﻒ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﻟﻤﺎ ﻟﻢ ﺗﻜﻦ ﺍﻟﻜﻨﺎﻳﺔ ﻣﻨﺎﻓﻴﺔ ﻹﺭﺍﺩﺓ ﺍﻟﺤﻘﻴﻘﺔ ﻹﻣﻜﺎﻥ ﺍﻟﺠﻤﻊ ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ

ﻛﻤﺎ ﺗﻘﻮﻝ ﻓﻼﻥ ﻃﻮﻳﻞ ﺍﻟﻨﺠﺎﺩ ﻭﺗﺮﻳﺪ ﻃﻮﻝ ﻗﺎﻣﺘﻪ ﻣﻊ ﻃﻮﻝ ﻋﻼﻗﺔ ﺳﻴﻔﻪ ﺭﺗﺐ ﻋﻠﻴﻪ ﻗﻮﻟﻪ ﺑﻜﻞ

ﺷﻌﺮﺓ ﻳﻤﺮ ﻋﻠﻴﻪ ﻳﺪﻩ ﻭﻣﻦ ﺃﺣﺴﻦ ﺇﻟﻰ ﻳﺘﻴﻤﺔ ﺃﻭ ﻳﺘﻴﻢ ﻗﻴﻞ ﺃﻭ ﻟﻠﺘﻨﻮﻳﻊ ﻭﻗﺪﻡ ﺍﻟﻴﺘﻴﻤﺔ ﻷﻧﻬﺎ ﺃﺣﻮﺝ

ﻭﺍﻟﻈﺎﻫﺮ ﺃﻧﻪ ﺷﻚ ﻣﻦ ﺃﺣﺪ ﺍﻟﺮﻭﺍﺓ ﻭﻗﻊ ﻓﻲ ﻏﻴﺮ ﻣﺤﻠﻪ ﻷﻥ ﺣﻜﻢ ﺍﻟﻴﺘﻴﻢ ﻗﺪ ﻋﻠﻢ ﻣﻤﺎ ﺳﺒﻖ ﻓﻔﻲ

ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻔﻘﺮﺓ ﺟﻴﺮ ﺍﻟﻴﺘﻴﻤﺔ ﺑﺎﻟﻠﻄﻒ ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺇﻻ ﺃﻥ ﻳﺨﺺ ﺍﻹﺣﺴﺎﻥ ﺑﺎﻷﻧﻌﺎﻡ ﻭﺍﻹﻧﻔﺎﻕ ﻭﻧﺤﻮﻫﻤﺎ ﻣﻤﺎ

ﻳﻐﺎﻳﺮ ﻣﻌﻨﻰ ﻣﻄﻠﻖ ﺍﻹﺣﺴﺎﻥ ﺍﻟﺸﺎﻣﻞ ﻟﻠﻤﺴﺢ


Marqaah al-Mafaatiih Syarh Misykaah al-Mashaabiih XIV/263

Wallaahu A’lamu Bis Showaab