Oleh : Samsul Munir Amin
REBO Wekasan atau disebut juga dengan Rebo Pungkasan adalah hari Rabu terakhir pada bulan Safar. Pada hari itu sebagian masyarakat menganggap Tuhan menurunkan banyak musibah dan bencana, karenanya pada hari ini perlu diadakan amalan untuk memohon ampun dan bertaubat kepada Tuhan. Pada hari itu juga dianjurkan banyak mengeluarkan sedekah kepada sesama, dan berbuat kebaikan. Sebagian masyarakat percaya bahwa pada hari Rabu Wekasan ini memiliki nilai religius tinggi. Kepercayaan ini berlangsung sejak lama, bahkan Pyper, sarjana Belanda, dalam buku Beberapa Aspek tentang Sejarah Islam di Indonesia Abad Ke-19, (1979) menyebut bahwa sejak abad ke 17 M, tradisi ini sudah muncul di masyarakat muslim, khususnya di Nusantara, seperti di Aceh, Sumatra Barat, dan Jawa. Tradisi Rebo Wekasan juga dianggap hari yang memiliki nilai tersendiri bagi masyarakat, khususnya di Desa Suradadi, Kecamatan Suradadi, Kabupaten Tegal, desa di jalur antara Tegal dan Pemalang, sekitar 17 kilometer timur kota Tegal. Bagi masyarakat, momentum ini dimanfaatkan untuk mengenang kembali perjuangan para ulama yang berjasa menyebarkan agama Islam di desa tersebut. Menurut penulis, memanfaatkan budaya Rebo Wekasan dengan menjadikannya sebuah acara tradisi haul untuk mengenang perjuangan para ulama ini adalah langkah ijtihad para ulama di Suradadi dalam menghadapi kenyataan budaya di masyarakat, untuk menjadikan fenomena Rebo Wekasan menjadi lebih bermakna dan memiliki nilai manfaat bagi masyarakat. Dengan demikian ulama telah menerapkan suatu kearifan lokal (local histories) dalam menghadapi fenomena budaya di masyarakat. Langkah yang bisa ngemong masyarakat dalam melihat suatu budaya agar akar budaya itu tidak jauh menyimpang dari adat ketimuran dan agama. Selain di Suradadi, tradisi Rebo Wekasan juga diperingati di Lebaksiu, Kabupaten Tegal, akan tetapi di sini lebih cenderung kepada acara budaya dengan datang di suatu tempat yang bernilai rekreatif dan hiburan. Penyebaran Agama Di Suradadi, Rebo Wekasan dijadikan acara upacaca haul untuk mengenang perjuangan mereka yang telah berjasa dalam penyebaran agama Islam di desa tersebut. Pelaksanaannya di pemakaman umum desa tepatnya di sebelah selatan Masjid Jami Al-Kautsar atau sebelah selatan Pasar Suradadi. Karena itu menjadi wajar, jika jalur pantura pada hari Rabu Wekasan tepatnya di pasar kecamatan tersebut akan terjadi kemacetan karena pengunjung yang membeludak memadati desa kecamatan itu. Diperkirakan acara haul tradisi tersebut dikunjungi tidak kurang dari 20 ribu pengunjung, seperti acara-acara sebelumnya, yang datang dari berbagai wilayah sekitar seperti dari wilayah Kota/Kabupaten Tegal, Pemalang, Brebes, Pekalongan, Batang, Purbalingga, dan Purwokerto. Menurut buku Tradisi Haul Rebo Wekasan di Suradadi yang diterbitkan oleh panitia tahun 2002, haul kali pertama dilaksanakan tahun 1961 bersamaan memperingati haul KH Afroni yang wafat pada 27 Sapar 1381 H (13 Agustus 1961 M) bertepatan dengan hari Rebo Wekasan. Akhirnya oleh masyarakat Suradadi peringatan haul tersebut, dikolektifkan untuk memperingati perjuangan para ulama, tidak hanya KH Afroni. Ini sebuah kearifan lokal yang dilakukan para ulama atau kiai dengan memadukan unsur budaya lokal dengan agama. Menurut catatan panitia, pejuang agama Islam di Suradadi yang haulnya diperingati pada Rebo Wekasan adalah Syaikh Maulana Jumadil Kubra, KH. Abdul Ghofar, KH. Rais, KH. Afroni, KH. Idris, KH Khusen, KH. Ismail, KH. Yakub, KH. Umar, KH. Abdul Hamid, K. Said, KH. Sihabuddin, K. Yusuf, KH. Rosyidi, KH. Fatkhuddin, KH Muhammad, KH. Abdul Lathif, KH. Zainal Arifin, KH. Mukhyiddin, KH. Saifuddin dan K. Imam Yusuf. Mereka adalah pejuang-pejuang agama Islam di Suradadi, yang ikut andil dalam mengembangkan agama Islam di desa/ kecamatan itu sehingga perjuangan mereka perlu dikenang. Tidak bisa dimungikiri bahwa tradisi haul tersebut merupakan media efektif untuk persatuan umat, dakwah Islam, dan memobilisasi perekonamian umat. Setengah bulan bahkan satu bulan sebelum hari H, desa itu sudah ramai dengan hiruk pikuknya acara. Desa itu menjadi semacam pasar malam, dimulai dari jalur pasar ke selatan hingga puskesmas, adalah arena bazar masyarakat yang bisa dihadiri secara gratis. Segala jenis makanan, mainan anak-anak, pakaian, sepatu, tas, ataupun kebutuhan lainnya ada, tidak bedanya dari pasar malam yang mengundang keramaian. Pedagang pun datang dari berbagai kota. Ada satu kepercayaan, bahwa setelah berdagang pada acara Rebo Wekasan, dagangan mereka akan bertambah laris pada hari berikutnya. Menurut penulis ini adalah budaya masyarakat yang tidak bisa dibendung. Masyarakat desa akan melanggengkan budaya seperti ini sebagai suatu tradisi yang menurut kepercayaan mereka adalah merupakan bagian dari ibadah. (10) — Drs. Samsul Munir Amin MA, warga Suradadi Kabupaten Tegal, Dekan Fakultas Komunikasi dan Sosial Politik, UNSIQ Wonosobo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar